Membaca
berita di medsos yang beredar pada hari-hari belakangan ini tentang logo gereja
yang melekat pada terpal tenda pengungsi korban gempa Cianjur dirobek oleh
orang yang tidak bertanggung jawab. Tindakan yang kurang terpuji ini menuai
reaksi beragam dari pada nitizen. Ada yang
berpandangan bahwa sebaiknya kalau membantu orang, jangan membawa logo gereja
karena “apa yang dilakukan oleh tangan kanan, tidak boleh diketahui oleh tangan
kiri” dan supaya tidak memancing reaksi.
Pandangan sebagian nitizen ini juga baik bahwa memberi harus dengan tulus tanpa
memperlihatkan logo serta identas seorang pemberi. Sementara itu ada pendapat
lain yang mengatakan bahwa logo gereja itu tetap dipasang karena tenda yang
dipakai itu inventaris gereja dan juga sebagai bentuk pertanggung jawaban
gereja pada pihak donatur. Semua pandangan ini baik dan bisa diterima.
Dua pandangan nitizen ini berseberangan namun peristiwa yang dikritisi itu sudah terjadi. Dalam sebuah video yang beredar tentang peristiwa perobekan logo gereja pada tenda-tenda pengungsi, memperlihatkan bahwa para pengungsi tidak mempersoalkan logo, entah dari gereja atau dari instansi lain yang memberikan bantuan. Bagi para pengungsi, satu harapan mereka adalah bisa ditolong pada saat darurat ini agar perlahan mereka bisa pulih dan bangkit kembali. Akibat ulah dari orang yang tidak bertanggung jawab itu, tenda-tenda yang disobek logo gerejanya, pada akhirnya bocor dan kemasukan air hujan.
Aksi serupa ini juga mengingatkan penulis akan peristiwa yang pernah muncul di daerah Bantul pada situasi bencana alam. Ketika wilayah Yogyakarta terkena bencana gempa bumi dan memporak-porandakan rumah warga pada beberapa tahun yang lalu, semua pihak membuka mata dan membantu para korban, termasuk gereja. Para pengungsi yang waktu itu mengungsi di area salah satu paroki di Bantul, kebetulan banyak teman-teman muslim juga turut mengungsi di area gereja itu. Tidak jadi masalah karena dalam kondisi darurat dan musibah seperti itu, orang tak lagi memikirkan pengkotak-kotakan berdasarkan agama, tapi yang terpenting adalah bagaimana para pengungsi itu menyelamatkan diri dan ditangani dengan baik.
Sumber foto: www.konteks.co.id
Dalam
situasi normal, sepertinya masih terjadi polarisasi kelompok-kelompok agama. Namun
sangat disayangkan pada momentum musibah seperti itu, mestinya pemikiran yang
sempit tentang agama dan kehidupan keagamaan itu harus disingkirkan. Yang harus kita
munculkan adalah kemanusiaan. Nilai-nilai keagamaan yang selama ini kita pelajari,
mestinya diwujudnyatakan dalam tindakan kasih pada mereka yang terkena korban
bencana. Puncak pemahaman nilai agama tidak terletak pada narasi biblis saja
tetapi justeru mendapatkan penegasan pada tindakan membagi kasih pada mereka
yang terluka karena bencana. Sampai saat ini, masih banyak orang Indonesia terlalu
mementingkan aspek ketuhanan, sampai lupa dengan aspek kemanusiaan.
Mudah-mudahan peristiwa yang tidak terpuji ini tidak terulang lagi.***(Valery
Kopong)
0 komentar:
Post a Comment