Thursday, September 10, 2020

Guru Literasi Bangsa

 

Tanggal 9 September 2020, dunia pers kehilangan seorang tokoh penting yang bergerak dalam bidang pers. Dialah Jakob Oetomo, pendiri Kompas – Gramedia. Banyak orang menaruh simpati dan ikut berbelasungkawa atas kepergiannya. Walaupun tidak terlibat langsung dan bahkan tidak pernah bertemu sekali pun dengan beliau, tetapi hampir semua tahu, siapa itu Jakob Oetomo dan sepertinya ada ikatan emosional antara warga dengan sang pemilik Kompas itu. Ikatan emosional itu bisa terbangun karena adanya media yang tersaji seperti Koran Harian Kompas yang dibaca setiap hari. Ketika membaca setiap tulisan yang tersaji pada Kompas, ingatan publik selalu terarah pada pemiliknya.

Tahun-tahun yang lampu, sebelum menjamurnya media sosial yang memberikan kemudahan bagi siapa pun untuk berekspresi diri dengan menulis, Kompas selalu menyajikan tulisan yang menarik, sekaligus mendidik para pembaca melalui tulisan. Kompas memang menyajikan tulisan-tulisan “yang adem” dan berita-berita yang disajikan merupakan berita yang bermutu dan berimbang. Karena itu tidak heran ketika zaman orde baru di mana banyak pers dibredel karena pemberitaannya menyentil pedas pemerintah yang sedang berkuasa, tidak luput dari tekanan sang penguasa.  Banyak Koran dan majalah dibredel saat itu, tapi Kompas tetap eksis karena perimbangan berita dan tidak membuka ruang kontroversi dengan tulisan-tulisannya.

Jakob Oetomo tidak hanya dilihat sebagai sosok pendiri Kompas tetapi lebih dari itu menyediakan media bagi warga untuk berliterasi. Dengan tulisan-tulisan yang ada di Kompas, kesadaran kita tergiring untuk mereguk isi dari tulisan itu dengan membacanya. Banyak pengetahuan baru dan terutama ada inspirasi baru setelah membaca tulisan-tulisan bermutu di Kompas. Sejak SD, saya sudah mendengar tentang Harian Kompas. Tetapi pada usia SD dan SMP, saya tidak pernah membaca Kompas karena maklum, Kompas di wilayahku hanya dibaca oleh orang-orang tertentu saja karena mereka berlangganan. Saya mengenal lebih dalam tentang Kompas ketika sudah menginjakkan kaki pada Seminarium Sancti Dominici (Seminari San Dominggo – Hokeng). Di perpustakaan Seminari Hokeng, banyak Koran Kompas dan media lainnya yang dipajang dan sekaligus dibaca oleh para seminaris.

Dengan membaca Kompas dan buku-buku lain yang juga merupakan terbitan Gramedia, memberikan ruang pembelajaran bagi saya. Dengan membaca, memberikan banyak pengetahuan pada saya untuk melihat dunia lain dan terutama tokoh-tokoh penting yang memiliki pengaruh positif, yang pengalaman hidup mereka tersaji  pada kolom sosok. Banyak manfaat yang bisa saya peroleh dari membaca Kompas. Dengan membaca Kompas, saya tidak berhenti pada membaca atau penikmat Kompas saja tetapi memacu saya untuk bagaimana cara saya bisa belajar menulis secara baik, menyerupai para jurnalis. Sebuah kerinduan besar yang harus saya bangun dalam diri saya, yakni ingin menjadi penulis. Karena bagi saya, menjadi penulis berarti kita sedang menyajikan sebuah hidangan bermakna dan para pembaca adalah langganan kita yang terus mengunyah makanan (baca: tulisan) yang tersaji itu.  Seperti makanan yang disajikan pada para pelanggan harus dalam kondisi “fres” dan nikmat, demikian juga tulisan  yang disajikan oleh penulis, harus yang berlandaskan pada isu-isu terbaru dan harapannya adalah tulisan kita saja bisa memberikan inspirasi bagi orang lain yang sedang membacanya.

Dari membaca riwayat pendidikan, Jakob menamatkan pendidikan dasarnya di Yogyakarta dan kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Seminari di Yogyakarta (1951). Melihat sejenak riwayat pendidikannya yang bersentuhan dengan seminari, Jakob telah meletakkan dasar  “keheningan” untuk membangun masa depan yang lebih baik. Beliau telah bertarung untuk meletakkan dasar-dasar jurnalisme di Indonesia dan kita yang belajar darinya untuk tetap membaca dan menulis sebagai cara paling berharga untuk mewartakan nilai-nilai kebaikan. Beliau dilahirkan pada 27 September 1931 dan meninggal pada 9 September 2020. Dilahirkan pada September dan kembali ke pangkuan Allah pada bulan September juga, bulan di mana gereja Katolik menetapkan sebagai bulan kitab suci. Seperti kita membaca kitab suci, pada saat yang sama kita mengagumi karya para penulis kitab suci, dan dengan membaca Kompas, kita mengagumi pendiri, yang tidak lain adalah guru literasi bangsa.*** (Valery Kopong)

0 komentar: