Saturday, October 26, 2013

PELANGI ITU AKAN SELALU ADA



Oleh: Theresia Tri Wahyuni

“Pelangi pelangi alangkah indahmu
Merah kunig hijau di langit yang biru
Pelukismu agung, siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan”

Sayub terdengar alunan lagu masa kecil, teringat olehnya kisah-kisah hidupnya yang dulu. Kecipak-kecipak terdengar air terinjak oleh puluhan kaki anak-anak yang bermain di halaman sekolah. Mereka bermain dengan bebas tetapi ketika hujan tiba, kebebasan bermain di halaman sekolah sepertinya dibatasi oleh guru karena takut mereka bisa jatuh sakit.  “Jika hujan jangan main air anak-anak, nanti masuk angin” kata Bu Guru. Seusai bermain, mereka keburu pulang karena lapar, apalagi berangkat sekolah tadi tak sempat sarapan. Dalam perjalanan pulang dengan menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, mereka seakan melupakan rasa lapar. Ah, biar saja, yang penting cepat sampai di rumah dan bisa segera bantul simbok.
Mbok untuk ambil ijazahku harus bayar uang SPP.”
“ Berapa le?”
“Tiga puluh lima rupiah kali setahun mbok!
“ Jadi berapa?”
“Empat ratus sepuluh rupiah mbok.”
“Sabar ya le, simbok besok jual singkong hasil panen Bapakmu hari ini. Semoga cukup untuk bayar ijazahmu.”
“ya mbok.”

***




Angin berhembus kencang membawa butiran-butiran hujan tampias di teras rumah.“No, syukur kamu lulus,” kata Simbok. “Tapi apa No bisa melanjutkan ke SMP Mbok.” “Maafkan Bapak sama Simbok, le sepertinya nggak bisa.” Pak Marto menjawab dengan kesedihan yang mendalam.Orang tuanya memang tergolong tidak mampu, hanya buruh tani dan harus menghidupi tujuh anaknya. Mereka hanya mempunyai sedikit ladang di belakang rumah yang ditanami singkong.
Susah memang menghadapi hidup. Umur tiga belas tahun harus tahu bahwa menggapai keinginan tidaklah gampang. Ia memang sudah tahu bahwa mustahil baginya menggapai keinginan. Pernah terucap dari bibirnya kata insinyur. Ia tahu tapi tidak mengerti. Mengapa harus dirinya? Runtuh menggenang hujan terlihat di pelupuk mata Tarno.Tarno menyatukan genangan di matanya dengan tampias hujan. Tak tertahan air matanya meleleh. Bantulah aku ya Allah!
Langit mendung hujan belum berlalu. Semua buruh bangunan berhenti bekerja. Keringat yang menempel di tubuh mereka mulai mengering. No begitu kelelahan entah sudah berapa lama ia bekerja mengaduk semen, mengangkat pasir, di suruh ini di suruh itu.
“No, sini!” Terdengar panggilan sang kepala proyek.
“Cukup ya, kerja hari ini . Ini gajimu buat hari ini. Besok datang lagi ya No!”
“Beres Bos!” jawabnya.
Tarno tersenyum puas memandang lembaran-lembaran hasil keringatnya.
“Saya suka pekerjaan kamu No! Di antara semua kuli bangunan di sini, kamu yang paling rajin, pekerjaanmu juga paling rapi. Saya puas No!”kepala proyek itu menepuk bahunya sekilas lalu pergi. Tarno melihat hujan mulai mereda, ia pun tersenyum penuh arti. “Ya, mungkin memang aku nggak bisa jadi insinyur, tapi jadi kuli kepercayaan kepala proyek, kedengarannya lumayan juga kan?” Hujan yang mulai reda sepertinya mengiyakan pertanyaan hatinya. Perjalanan waktu membawanya menjadi tukang kepercayaan kepala proyek. Meski saat itu dirinya belum bisa  berhitung dengan kalkulator.

***

Dari barat terlihat seburat pelangi  sepertinya mengakhiri rintiknya hujan.
“Mas, gimana anakmu, lulus SMP katanya mau meneruskan ke SMA,” tanya istri No
“Ya harus lanjut, jangan seperti bapaknya,” kata No. “Aku akan terus berusaha supaya dia bisa jadi insinyur seperti yang diinginkannya.” Tarno bertekad dengan pekerjaannya yang telah digelutinya selama dua puluh tahun, anaknya pasti bisa sekolah. Kejadian masa kecilnya tidak ingin terulang kembali pada anaknya. Jangan sampai air hujan jatuh ke pelimbangan juga. Dengan pekerjaannya ia bertekat mengentaskan ke empat anaknya.

***
Hujan deras mungguyur bumi, hawa panas dari Gunung Merapi sedikit terhapus oleh siramannya. Bumi seakan berputar, pijakan serasa tidak ada, semua bergerak, tak ada yang terpegang, tak ada yang memegang, tak ada yang dipegang, semuanya lepas tak terkendali. Apakah ini kiamat? Pohon terlentang, karena akar tak mampu memegang bumi pijakannya. Rumah-rumah ambruk, porak poranda rata dengan tanah. Hewan ternak berlarian tak tentu arah. Aduh…. aduh…. terdengar suara rintihan  di antara reruntuhan rumah. Seram terasa, cekam menahan. Titir tanda bahaya berbunyi di segala penjuru, teriak lindu dan kukuh bakuh terdengar dari mulut yang terselamatkan.
“Tanto, Tanti, Toto, Tono, mbokne Tanto,” teriak No mencari mereka.
“Syukur kalian selamat”
“Kita sekeluarga selamat Pak!”
“Terima kasih Tuhan,  Engkau masih beri kesempatan keluarga kami untuk hidup” panjat No.
Tarno melihat ke sekeliling rumahnya, ternyata mendung masih menggelantung di atasnya. Rintihan, tangisan, tak dapat menghapus cobaan yang dikirimkan-Nya.
“ Tuhan apakah namanya ini? Mengapa datang pada kami?” “Apa yang bisa kulakukan? Aku bukan Pak Hendro yang arsitek. Aku bukan Bah Ahong yang punya toko obat. Aku bukan Pak Dwiyatmo yang bisa memberikan resep obat. Tuhan apa yang bisa kulakukan?” “Tuhan, aku yang hanya setitik ini bukanlah apa-apa. Materi tak seberapa. Apa yang bisa kuberikan untuk desaku ini?”

Dilihatnya kembali seluruh rumah warga yang hancur akibat lindu. Hanya rumahnya yang masih utuh. Entah kenapa, memang mujizat Tuhan berpihak padanya. Tak sia-sia ia menjadi kuli bangunan selama dua puluh tahun, hingga ia tahu persis cara yang paling tepat untuk membangun rumah dengan fondasi yang baik dan kuat. Hal ini terbukti dengan kondisi rumahnya pasca gempa. Rumah tetap tegak berdiri kokoh. Namun sebesar apapun berkat dalam dirinya saat ini. Sebesar apapun rasa syukurnya, tak dapat menghapus kesedihan hatinya saat ini.
Ditatapnya mendung di langit tetaut pikir pada Sang kuasa. “Sekali lagi Tuhan, apa yang harus kulakukan? Di sini aku hanya seorang ketua RT yang ilmunya tak seberapa. Aku hanya seorang tukang bangunan. Aku tak punya apa-apa!  “Mendung mulai terkuak, sepertinya memberi jawaban pencerahan pada Tarno. Tatapan Tarno penuh keyakinan. Warga yang mengungsi masih punya semangat hidup. Semua bergerak agar roda kehidupan tetap berputar. Dikumpulkan kayu, paku, genting, papan, semuanya yang masih bisa dimanfaatkan dari reruntuhan rumah. Dalam kesedihan karena hilangnya harta benda, bahkan anggota keluarga, semangat mereka masih tetap menyala-nyala.
Awalnya warga memang tidak yakin atas rencana Tarno, sang RT, mengingat tidak ada lagi harta yang tersisa. Tetapi mereka tidak ingin berlama-lama tinggal di tenda yang panas di siang hari dan dingin pada malamnya. Hal itulah yang membuat mereka kembali berharap untuk bangkit dari puing lindu. Ditatapnya mendung yang mungkin akan mengirimkan hujan,
“Siapa yang tahu rencana-Nya.”
”Siapa yang bisa mengusiknya?”
“Dia yang memberi, semua bisa berpulang padanya”
“manungsa saderma  trima ing pandum”
Tarno kembali bekerja.
Uluran tangan dermawan membantu gerak langkah mereka. Materi dan pemikiran datang silih berganti mendukung pembangunan 65 rumah yang runtuh di desanya. Pekerjaannya sebagai tukang membuatnya mempunyai relasi dengan beberapa toko bangunan yang bisa memberi harga miring, sehingga dana dari donatur diharapkan dapat menutu pembangunan itu. Tarno sang ketua RT tetap bersemangat. Tatap senyum mulai muncul dari binar wajahnya.  Kesenangan yang muncul bukan hanya karena sudah banyak warga yang datang ke rumahnya untuk berterima kasih, tetapi lebih dari itu, bahkan jauh dari itu. Bangunan yang dibuat adalah bangunan tahan gempa. Kerangka bangunan memang tidak terbuat dari beton, melainkan kayu glugu. Bagian bawah kayu dilubangi dan diisi dengan besi yang ditanam dengan beton fondasi. Jadi ketika ada guncangan besar, kayu memang bergerak,  tapi tidak akan patah. Setiap sambungan dinding dikaitkan dengan angkur. Dilihatnya rumah garapan bersama warga mulai berdiri satu persatu tepat sebelum musim hujan tiba. Sehingga mereka tak perlu khawatir oleh hawa terik dan dinginnya malam.
Kembali ditatapnya pembawa hujan, sekali ini ia bersyukur menjadi kuli bangunan. Tarno tetaplah seorang tukang bangunan. Ia memilih membangkitkan semangat dan ikut membangun rumah warga di dusunnya yang rata dengan tanah meski tanpa imbalan. Senyum puas diwajahnya menyapu mendung diwajahnya menyapu mendung di angkasa. Tiga tahun sudah berlalu. Kini geliat penduduk sudah mulai normal. Perekonomian berjalan baik.  Meski trauma akan gempa masih tertahan di hati, namun bersama sang waktu hidup tetap haruslah berjalan.
“Pelangi pelangi alangkah indahmu
Merah kunig hijau dilangit yang bira
Pelukismu agung, siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan”
Sayub kembali terdengar suara cadel di bawa hembusan angin senja hari, membawa lamunan-lamunan lain dalam pikiran Tarno. Sampai hari ini pelangi masih tetap ada, dan akan muncul sepanjang roda bumi masih berputar.
                                                                                         Kota Bumi, Awal Agustus 2009  
 

Catatan:
Glugu          : batang kelapa
Lindu           : gempa
Simbok/ mbok : sebutan untuk orang tua perempuan atau ibu
Manungsa saderma trima ing pandum  : manusia wajib menerima pemberianNya dengan iklas



0 komentar: