Oleh: Theresia Tri Wahyuni
“Pelangi pelangi alangkah
indahmu
Merah kunig hijau di langit
yang biru
Pelukismu agung, siapa
gerangan
Sayub terdengar alunan lagu masa kecil, teringat
olehnya kisah-kisah hidupnya yang dulu. Kecipak-kecipak terdengar air
terinjak oleh puluhan kaki anak-anak yang bermain di halaman sekolah. Mereka
bermain dengan bebas tetapi ketika hujan tiba, kebebasan bermain di halaman
sekolah sepertinya dibatasi oleh guru karena takut mereka bisa jatuh sakit. “Jika hujan jangan main air anak-anak, nanti
masuk angin” kata Bu Guru. Seusai bermain, mereka keburu pulang karena lapar,
apalagi berangkat sekolah tadi tak sempat sarapan. Dalam perjalanan pulang dengan
menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, mereka seakan melupakan rasa lapar. Ah,
biar saja, yang penting cepat sampai di rumah dan bisa segera bantul simbok.
“ Berapa le?”
“Tiga puluh lima rupiah kali setahun mbok!”
“ Jadi berapa?”
“Empat ratus
sepuluh rupiah mbok.”
“Sabar ya le, simbok besok jual singkong hasil
panen Bapakmu hari ini. Semoga cukup untuk bayar ijazahmu.”
“ya mbok.”
***
Angin berhembus kencang membawa butiran-butiran hujan tampias di teras
rumah.“No, syukur kamu lulus,” kata Simbok.
“Tapi apa No bisa melanjutkan ke SMP Mbok.”
“Maafkan Bapak sama Simbok, le sepertinya nggak bisa.” Pak
Marto menjawab dengan kesedihan yang mendalam.Orang tuanya memang tergolong
tidak mampu, hanya buruh tani dan harus menghidupi tujuh anaknya. Mereka hanya
mempunyai sedikit ladang di belakang rumah yang ditanami singkong.
Susah memang menghadapi hidup.
Umur tiga belas tahun harus tahu bahwa menggapai keinginan tidaklah gampang. Ia
memang sudah tahu bahwa mustahil baginya menggapai keinginan. Pernah terucap
dari bibirnya kata insinyur. Ia tahu tapi tidak mengerti. Mengapa harus
dirinya? Runtuh menggenang hujan terlihat di pelupuk mata Tarno.Tarno
menyatukan genangan di matanya dengan tampias hujan. Tak tertahan air matanya
meleleh. Bantulah aku ya Allah!
Langit mendung hujan belum berlalu. Semua buruh
bangunan berhenti bekerja. Keringat yang menempel di tubuh mereka mulai
mengering. No begitu kelelahan entah sudah berapa lama ia bekerja mengaduk
semen, mengangkat pasir, di suruh ini di suruh itu.
“No, sini!”
Terdengar panggilan sang kepala proyek.
“Cukup ya, kerja hari ini . Ini gajimu buat hari
ini. Besok datang lagi ya No!”
“Beres Bos!”
jawabnya.
Tarno tersenyum
puas memandang lembaran-lembaran hasil keringatnya.
“Saya suka pekerjaan kamu No!
Di antara semua kuli bangunan di sini, kamu yang paling rajin, pekerjaanmu juga
paling rapi. Saya puas No!”kepala proyek itu menepuk bahunya sekilas
lalu pergi. Tarno melihat hujan mulai mereda, ia pun tersenyum penuh arti. “Ya,
mungkin memang aku nggak bisa jadi insinyur, tapi jadi kuli kepercayaan kepala
proyek, kedengarannya lumayan juga kan?”
Hujan yang mulai reda sepertinya mengiyakan pertanyaan hatinya. Perjalanan
waktu membawanya menjadi tukang kepercayaan kepala proyek. Meski saat itu
dirinya belum bisa berhitung dengan
kalkulator.
***
Dari barat terlihat seburat pelangi sepertinya mengakhiri rintiknya hujan.
“Mas, gimana
anakmu, lulus SMP katanya mau meneruskan ke SMA,” tanya istri No
“Ya harus
lanjut, jangan seperti bapaknya,” kata No. “Aku akan terus berusaha supaya dia
bisa jadi insinyur seperti yang diinginkannya.” Tarno bertekad dengan
pekerjaannya yang telah digelutinya selama dua puluh tahun, anaknya pasti bisa
sekolah. Kejadian masa kecilnya tidak ingin terulang kembali pada anaknya.
Jangan sampai air hujan jatuh ke pelimbangan juga. Dengan pekerjaannya ia
bertekat mengentaskan ke empat anaknya.
***
Hujan deras mungguyur bumi, hawa panas dari Gunung Merapi sedikit
terhapus oleh siramannya. Bumi seakan berputar, pijakan serasa tidak ada, semua
bergerak, tak ada yang terpegang, tak ada yang memegang, tak ada yang dipegang,
semuanya lepas tak terkendali. Apakah ini kiamat? Pohon terlentang, karena akar
tak mampu memegang bumi pijakannya. Rumah-rumah ambruk, porak poranda rata
dengan tanah. Hewan ternak berlarian tak tentu arah. Aduh…. aduh…. terdengar
suara rintihan di antara reruntuhan
rumah. Seram terasa, cekam menahan. Titir tanda bahaya berbunyi di segala
penjuru, teriak lindu dan kukuh bakuh terdengar dari mulut yang terselamatkan.
“Tanto, Tanti, Toto, Tono, mbokne Tanto,” teriak No mencari mereka.
“Syukur kalian
selamat”
“Kita sekeluarga
selamat Pak!”
“Terima kasih
Tuhan, Engkau masih beri kesempatan
keluarga kami untuk hidup” panjat No.
Tarno melihat ke sekeliling rumahnya, ternyata mendung masih
menggelantung di atasnya. Rintihan, tangisan, tak dapat menghapus cobaan yang
dikirimkan-Nya.
“ Tuhan apakah
namanya ini? Mengapa datang pada kami?” “Apa yang bisa kulakukan? Aku bukan Pak Hendro yang arsitek. Aku
bukan Bah Ahong yang punya toko obat. Aku bukan Pak Dwiyatmo yang bisa
memberikan resep obat. Tuhan apa yang bisa kulakukan?” “Tuhan, aku yang hanya
setitik ini bukanlah apa-apa. Materi tak seberapa. Apa yang bisa kuberikan
untuk desaku ini?”
Dilihatnya kembali seluruh
rumah warga yang hancur akibat lindu. Hanya
rumahnya yang masih utuh. Entah kenapa, memang mujizat Tuhan berpihak padanya.
Tak sia-sia ia menjadi kuli bangunan selama dua puluh tahun, hingga ia tahu
persis cara yang paling tepat untuk membangun rumah dengan fondasi yang baik
dan kuat. Hal ini terbukti dengan kondisi rumahnya pasca gempa. Rumah tetap
tegak berdiri kokoh. Namun sebesar apapun berkat dalam dirinya saat ini.
Sebesar apapun rasa syukurnya, tak dapat menghapus kesedihan hatinya saat ini.
Ditatapnya mendung di langit
tetaut pikir pada Sang kuasa. “Sekali lagi Tuhan, apa yang harus kulakukan? Di
sini aku hanya seorang ketua RT yang ilmunya tak seberapa. Aku hanya seorang
tukang bangunan. Aku tak punya apa-apa! “Mendung mulai terkuak, sepertinya memberi
jawaban pencerahan pada Tarno. Tatapan Tarno penuh keyakinan. Warga yang
mengungsi masih punya semangat hidup. Semua bergerak agar roda kehidupan tetap
berputar. Dikumpulkan kayu, paku, genting, papan, semuanya yang masih bisa
dimanfaatkan dari reruntuhan rumah. Dalam kesedihan karena hilangnya harta
benda, bahkan anggota keluarga, semangat mereka masih tetap menyala-nyala.
Awalnya warga
memang tidak yakin atas rencana Tarno, sang RT, mengingat tidak ada lagi harta
yang tersisa. Tetapi mereka tidak ingin berlama-lama tinggal di tenda yang
panas di siang hari dan dingin pada malamnya. Hal itulah yang membuat mereka
kembali berharap untuk bangkit dari puing lindu.
Ditatapnya mendung yang mungkin akan
mengirimkan hujan,
“Siapa yang tahu
rencana-Nya.”
”Siapa yang bisa mengusiknya?”
”Siapa yang bisa mengusiknya?”
“Dia yang
memberi, semua bisa berpulang padanya”
“manungsa saderma trima ing pandum”
Tarno kembali
bekerja.
Uluran tangan dermawan membantu gerak langkah mereka. Materi dan
pemikiran datang silih berganti mendukung pembangunan 65 rumah yang runtuh di
desanya. Pekerjaannya sebagai tukang membuatnya mempunyai relasi dengan
beberapa toko bangunan yang bisa memberi harga miring, sehingga dana dari donatur
diharapkan dapat menutu pembangunan itu. Tarno sang ketua RT tetap bersemangat.
Tatap senyum mulai muncul dari binar wajahnya.
Kesenangan yang muncul bukan hanya karena sudah banyak warga yang datang
ke rumahnya untuk berterima kasih, tetapi lebih dari itu, bahkan jauh dari itu.
Bangunan yang dibuat adalah bangunan tahan gempa. Kerangka bangunan memang tidak terbuat dari beton,
melainkan kayu glugu. Bagian bawah
kayu dilubangi dan diisi dengan besi yang ditanam dengan beton fondasi. Jadi
ketika ada guncangan besar, kayu memang bergerak, tapi tidak akan patah. Setiap sambungan dinding
dikaitkan dengan angkur. Dilihatnya rumah garapan bersama warga mulai
berdiri satu persatu tepat sebelum musim hujan tiba. Sehingga mereka tak
perlu khawatir oleh hawa terik dan dinginnya malam.
Kembali ditatapnya pembawa hujan, sekali ini ia bersyukur menjadi kuli
bangunan. Tarno tetaplah seorang tukang bangunan. Ia memilih membangkitkan
semangat dan ikut membangun rumah warga di dusunnya yang rata dengan tanah
meski tanpa imbalan. Senyum puas diwajahnya menyapu mendung diwajahnya menyapu
mendung di angkasa. Tiga tahun sudah berlalu. Kini geliat penduduk sudah mulai
normal. Perekonomian berjalan baik.
Meski trauma akan gempa masih tertahan di hati, namun bersama sang waktu
hidup tetap haruslah berjalan.
“Pelangi pelangi alangkah
indahmu
Merah kunig hijau dilangit
yang bira
Pelukismu agung, siapa
gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan
Tuhan”
Sayub kembali terdengar suara cadel di bawa hembusan angin senja hari,
membawa lamunan-lamunan lain dalam pikiran Tarno. Sampai hari ini pelangi masih
tetap ada, dan akan muncul sepanjang roda bumi masih berputar.
Kota Bumi, Awal Agustus 2009
Catatan:
Glugu
: batang kelapa
Lindu
: gempa
Simbok/ mbok : sebutan untuk orang tua perempuan atau
ibu
Manungsa saderma trima ing
pandum : manusia wajib menerima pemberianNya dengan
iklas
0 komentar:
Post a Comment