Friday, October 18, 2013

MASYARAKAT KATOLIK MARIANIS




(catatan misa inkulturasi)
                Paroki Santa Helena-Karawaci-Tangerang begitu terbuka dan mengapresiasi nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki oleh umatnya. Umatnya yang beragam diberi peluang untuk mengungkapkan iman dalam  konteks budaya yang dimilikinya.  Budaya yang dimiliki dan membentuk kepribadian sejak kecil dimanfaatkan sebagai sarana yang mengantar untuk memahami, siapa itu Allah yang sebenarnya. Di Gereja Santa Helena inilah umat merayakan Ekaristi dan memadukannya dengan budaya lokal. Misa inkulturasi menjadi bagian penting untuk memahami kehadiran Allah lewat beragam budaya.
                Di pagi yang cerah minggu itu, tepat 28 Oktober 2012 umat Katolik NTT yang berada di wilayah Paroki Santa Helena dan sekitarnya merayakan misa yang dihantar dengan keberagaman budaya yang dimiliki oleh setiap wilayah yang ada di NTT. Saat menampilkan lagu dan tarian mengiringi prosesi misa, seolah-olah kesadaran setiap insan yang hadir saat itu, digiring untuk mengenang kembali kisah masa lalu di kampung yang jauh di  ujung timur. “Per Mariam ad Iesum.” Inilah tema sentral yang diusung dalam perayaan bernuansa etnis NTT itu sekaligus mengingatkan kita akan peran Maria di dalam kehidupan manusia.
               
Misa inkulturasi ini begitu meriah bukan hanya karena tarian dan lagu-lagu bernuansa  etnis NTT tetapi lebih dari itu karena kehadiran seorang gembala, Mgr. Vincent Sensi Potokota, Pr hadir dan bertindak sebagai selebran utama. Kedatangannya dari Flores menunjukkan betapa perhatiannya yang begitu besar terhadap umatnya sendiri yang sedang dan terus  merantau jauh di tanah Jawa. Kehadirannya menggelorakan kembali semangat hidup dan menuntun umat agar hidup di jalan yang benar. Misa inkulturasi ini dihadiri oleh 12 imam yang umumnya berasal dari Flores. Hadir pula Pastor Profesor Alex Lanur, OFM. Ribuan umat hadir dan tenggelam dalam perayaan misa inkulturasi. 
                Dalam kata pembukaannya, Mgr. Sensi mengatakan bahwa misa inkulturasi tidak sekedar seremoni belaka melainkan sebuah ungkapan iman pada Allah. “Kita masih beruntung punya seorang Bunda Maria yang kemudian menjadi ibu kita.” kehadiran Maria sangat dibutuhkan agar melaluinya kita bisa selamat dalam ziarah hidup iman kita. Kemudian di dalam khotbahnya, Uskup Agung Keuskupan Agung Ende-Flores ini memperlihatkan bahwa masyarakat Katolik NTT dikenal sebagai masyarakat Katolik Marianis, yang terungkap melalui cara-cara dalam berdevosi kepada Bunda Maria.   
                Dalam perjalanan hidupnya, Maria memperlihatkan diri sebagai ibu yang peduli dan memperhatikan orang lain. Perhatian terhadap Yesus dan orang-orang lain di sekitarnya  menjadi prioritas utama. Maria menunjukkan diri sebagai ibu yang berbela rasa dan membangun inisiatif untuk menyelamatkan orang-orang dari situasi genting. Di saat orang merasa kehilangan harapan dan bahkan kehilangan segala-galanya, Maria tampil sebagai ibu yang tidak hanya menghibur tetapi membantu dan memberikan solusi dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.
                Figur Maria perlu dicontoh karena selalu menanggalkan egoisme dan menempatkan kepentingan publik dari kepentingan pribadinya. Ia pun menyadari bahwa Yesus adalah anak Allah yang dikandung dari Roh Kudus dengan meminjamkan rahimnya. Tetapi rahim Maria adalah “rahim semesta” yang menghadirkan Yesus untuk dicintai dan menjadi penebus untuk seluruh umat manusia. Yesus tidak menjadi milik diri seorang Maria tetapi ia menyadari bahwa Yesus milik umat manusia. Karenanya seluruh tindakan Yesus dan pengorbanan diri yang bermuara pada kematian di kayu salib menjadi kegelisahan dan kekuatan iman umat. Maria sungguh gelisah ketika berhadapan dengan realitas dan berperan penting dalam berkoordinasi dengan Yesus dalam upaya penyelamatan situasi.
                Mukjizat pertama pada pesta pernikahan di Kana, menunjukkan peran produktif  itu. Ia menyerahkan seluruh urusan pada Yesus, ketika tuan pesta kehabisan anggur. Melalui permintaan Maria, mukjizat pertama yang menjadi bukti keilahian Yesus terjadi. Dan paling akhir, ia bertahan di jalan salib Tuhan. “Ini menunjukkan bahwa derita Putera sungguh menjadi bagian hidupnya. Hidupnya memang selalu menunjuk kepada Yesus, bukan menyatakan kehebatan keibuannya.”
                “Tidak salah kita menuju Yesus melalui Maria, “ tegas Mgr. Sensi  di selah-selah khotbahnya.  Ziarah iman kita menuju Yesus  melalui Maria adalah sah. Mengapa melalui Maria? Ketika Ia disalibkan, ia menyerahkan Maria untuk menjadi ibu para murid dan kita semua.  Kata-kata Yesus di saat yang sangat genting menunjukkan seorang pribadi yang istimewa bagi siapa saja yang menjadi murid Yesus. Maria adalah jalan pintas untuk mencapai ziarah iman kita. Melalui Maria, kita memperoleh kepenuhan Allah yang kita cari. Maria bisa membantu kita untuk mengenal siapa itu Allah. Seperti dalam pengalaman umat Israel,  Allah tidak membiarkan sisa umat Israel hilang lenyap. Allah menjanjikan untuk mengutus seorang Mesias yang bisa menyelamatkan umat-Nya. Tuhan / Yahwe orang Israel adalah Allah yang setia. 
                Kita boleh meyakini kesetiaan Allah di tengah domba-domba-Nya. Dalam diri Yesus kita melihat ketaatannya pada Allah  yang luar biasa. Yesus  adalah representasi kehadiran Allah sendiri. Yesus sendiri sebagai  Imam Agung hanya karena ingin menghadirkan kesetiaan kepada Allah. Melalui Bunda Maria, Allah yang diimani setiap saat merangkul kita agar tidak sesat. Dalam Injil Markus yang diperdengarkan hari itu, juga menampilkan kepenuhan rahasia hidup Allah yang peka terhadap kenyataan, tidak membiarkan Bartimeus melarat di pinggir jalan.
                Allah yang kita cari mewujud dalam diri Yesus sebagai pribadi yang solider, yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Apa yang kiranya berkesan dan belajar dari contoh kehidupan Maria? Beriman pada Yesus tidak cukup tetapi perlu diwujudnyatakan dalam hidup sehari-hari. Kita meningkatkan keyakinan kita tentang Yesus melalui Maria. Kehadiran Yesus merupakan kehadiran keteladanan, menciptakan kehidupan kita sehingga menjadi kesaksian nyata yang merangkul satu sama lain. Hidup kita menjadi sebuah kesaksian nyata.***(Valery Kopong, tulisan ini sudah dimuat di TABLOIT SABDA)    

0 komentar: