Ketika banjir
melanda beberapa wilayah Jabodetabek, terlihat ada upaya dari pelbagai pihak
memberikan perhatian berupa penyaluran bantuan makanan dan pakaian yang sangat
dibutuhkan oleh warga yang terkena banjir. Banjir, memang dilihat sebagai
musibah rutin tetapi dibalik peristiwa itu bisa terlihat dengan jelas, pelbagai
kelompok atau pun komunitas-komunitas menggerakkan kesadaran masyarakat untuk
berbuat sesuatu demi menyelamatkan mereka yang terkena banjir. Apa yang bisa kita
pelajari dari musibah rutin ini? Bagaimana peran Gereja dalam memberikan
perhatian pada mereka yang terkena banjir? Mengapa Gereja membuka diri bahkan
mendirikan dapur umum dan menyebarkan makanan, hasil masakan umat sendiri?
Menelusuri wilayah Tangerang beberapa waktu
lalu di mana sebagian besar perumahan terkena banjir, saya berkesempatan
mendatangi beberapa gereja paroki yang ada di wilayah Tangerang. Sebagian besar
umat yang tidak terkena banjir membangun aksi peduli dengan lingkungan
sekitarnya, bahkan ada gereja paroki yang umatnya tidak terkena banjir tetapi
tetap mendirikan dapur umum dan menyalurkan makanan ke tempat-tempat
pengungsian.
Gereja sebagai sebuah institusi religius, tidak hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan doa dan devosi saja. Tetapi dalam kenyataan, eksistensi Gereja menjadi bermakna ketika dipadukan dengan aksi-aksi sosial kemanusiaan dengan tidak memandang dari mana asal-usul orang-orang tersebut. Di sini, Gereja secara perlahan “membumikan” nilai-nilai cinta kasih yang merupakan warisan berharga dari Yesus Kristus. Semasa hidupnya, Yesus tidak pernah membangun pemisahan yang tegas dalam memberikan perhatian kepada orang-orang miskin dan yang terkucilkan dari masyarakat umum.
Gereja sebagai sebuah institusi religius, tidak hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan doa dan devosi saja. Tetapi dalam kenyataan, eksistensi Gereja menjadi bermakna ketika dipadukan dengan aksi-aksi sosial kemanusiaan dengan tidak memandang dari mana asal-usul orang-orang tersebut. Di sini, Gereja secara perlahan “membumikan” nilai-nilai cinta kasih yang merupakan warisan berharga dari Yesus Kristus. Semasa hidupnya, Yesus tidak pernah membangun pemisahan yang tegas dalam memberikan perhatian kepada orang-orang miskin dan yang terkucilkan dari masyarakat umum.
Dengan
bertitik tolak pada ajaran dan aksi nyata Yesus ini maka Gereja tidak punya
alasan lagi untuk menutup diri terhadap dunia sekitar. Rasa peduli dan
berempati terhadap mereka yang lemah mestinya terus dibangun agar masing-masing
kita tidak membangun ego sektoral yang bisa membentengi diri dari kekurang-pedulian.
Untuk masyarakat kota, rasa kepedulian mestinya terus digalakan karena publik
beranggapan bahwa masyarakat kota adalah masyarakat yang individualistik dan
egois. Apakah dengan munculnya banjir ini memberikan pembelajaran bagi masyarakat
terutama masyarakat kota untuk keluar dari sekat-sekat egoisme dan menjalin
kerja sama dalam mengatasi banjir serta menyelamatkan korbannya.
Gereja: Dapur Bagi Masyarakat
Secara
sederhana, saya bisa mengidentikkan Gereja sebagai “dapur,” tempat menggodok nilai-nilai cinta
kasih dan mengimplementasikan dalam keseharian hidup. Kalau Gereja sebagai
dapur maka tugas utamanya adalah meramu, mematangkan seluruh rencana yang
mengutamakan orang-orang yang tersisihkan dan menjadi korban dari sebuah permainan.
Dalam konteks peristiwa banjir yang lalu di mana Gereja menghimpun bahan-bahan
makanan dan memasaknya kemudian membagi kepada masyarakat, Gereja menampilkan
diri sebagai “dapur” dan sebagai “seorang ibu” yang peka terhadap persoalan dan
berupaya mengatasi persoalan itu.
Ketika
perkawinan di Kana, Bunda Maria begitu peduli terhadap tuan pesta yang
mengalami kekurangan anggur. Anggur menjadi minuman primadona dalam masyarakat
Yahudi dan menentukan gengsi serta kualitas sebuah pesta. Karenanya, tuan pesta
merasa cemas bila mereka kehabisan anggur di tengah gemuruh pesta itu. Rupanya
Maria begitu peduli, ia datang dalam pesta perjamuan itu tidak hanya sebagai
tamu undangan biasa melainkan sebagai bagian penting dari perhelatan pesta
akbar itu. Sebagai bagian dari pesta itu, menjadikan Maria begitu peduli dan
mengambil bagian dari kekurangan yang dialami oleh tuan pesta. Kekurangan
anggur yang dialami oleh tuan pesta tidak menjadi kecemasan abadi yang terus
menghantui tetapi merupakan peluang di mana Yesus bisa berbuat sesuatu untuk
menyelamatkan penyelenggara pesta itu.
Peristiwa banjir tidak semata-mata dilihat
sebagai bencana yang bisa “mengubur” mimpi-mimpi emas dari masyarakat tetapi
lebih dari itu, peristiwa musiman ini menjadi momentum berharga semua pihak
untuk melihat, seberapa jauh sumbangan masyarakat dalam menghadapi dan
mengatasi banjir untuk masa yang akan datang. Dengan banjir, semua orang dari
pelbagai kalangan bisa bertemu dalam sebuah ruang pengungsian dan sama-sama
merasakan diri sebagai orang-orang yang diungsikan.
Ada
banyak peristiwa kekurangan yang dialami saat berada di pengungsian. Situasi
seperti ini membuka wawasan para tim penyelamat dan penyalur makanan untuk
segera membangun tanggap darurat dalam mengatasi persoalan itu. Banjir memang
“musuh” bagi manusia, apalagi bagi mereka yang menjadi langganan setiap tahun.
Tetapi melalui peristiwa ini bisa menghimpun orang-orang yang mungkin
“bermusuhan” sebelumnya untuk bergandengan tangan dalam menyelamatkan korban
yang setia menanti uluran tangan. Banjir, di satu sisi membawa bencana terutama
bagi mereka terkena tetapi bisa juga dilihat sebagai berkat dan upaya dalam
membangun kepedulian sosial terhadap sesama.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment