Tuesday, October 15, 2013

GEREJA: DAPUR BAGI MASYARAKAT




Ketika banjir melanda beberapa wilayah Jabodetabek, terlihat ada upaya dari pelbagai pihak memberikan perhatian berupa penyaluran bantuan makanan dan pakaian yang sangat dibutuhkan oleh warga yang terkena banjir. Banjir, memang dilihat sebagai musibah rutin tetapi dibalik peristiwa itu bisa terlihat dengan jelas, pelbagai kelompok atau pun komunitas-komunitas menggerakkan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi menyelamatkan mereka yang terkena banjir. Apa yang bisa kita pelajari dari musibah rutin ini? Bagaimana peran Gereja dalam memberikan perhatian pada mereka yang terkena banjir? Mengapa Gereja membuka diri bahkan mendirikan dapur umum dan menyebarkan makanan, hasil masakan umat sendiri?
 Menelusuri wilayah Tangerang beberapa waktu lalu di mana sebagian besar perumahan terkena banjir, saya berkesempatan mendatangi beberapa gereja paroki yang ada di wilayah Tangerang. Sebagian besar umat yang tidak terkena banjir membangun aksi peduli dengan lingkungan sekitarnya, bahkan ada gereja paroki yang umatnya tidak terkena banjir tetapi tetap mendirikan dapur umum dan menyalurkan makanan ke tempat-tempat pengungsian.        
Gereja sebagai sebuah institusi religius, tidak hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan doa dan devosi saja. Tetapi dalam kenyataan, eksistensi Gereja menjadi bermakna ketika dipadukan dengan aksi-aksi sosial kemanusiaan dengan tidak memandang dari mana asal-usul orang-orang tersebut. Di sini, Gereja secara perlahan “membumikan” nilai-nilai cinta kasih yang merupakan warisan berharga dari Yesus Kristus. Semasa hidupnya, Yesus tidak pernah membangun pemisahan yang tegas dalam memberikan perhatian kepada orang-orang miskin dan yang terkucilkan dari masyarakat umum.
            Dengan bertitik tolak pada ajaran dan aksi nyata Yesus ini maka Gereja tidak punya alasan lagi untuk menutup diri terhadap dunia sekitar. Rasa peduli dan berempati terhadap mereka yang lemah mestinya terus dibangun agar masing-masing kita tidak membangun ego sektoral yang bisa membentengi diri dari kekurang-pedulian. Untuk masyarakat kota, rasa kepedulian mestinya terus digalakan karena publik beranggapan bahwa masyarakat kota adalah masyarakat yang individualistik dan egois. Apakah dengan munculnya banjir ini memberikan pembelajaran bagi masyarakat terutama masyarakat kota untuk keluar dari sekat-sekat egoisme dan menjalin kerja sama dalam mengatasi banjir serta menyelamatkan korbannya.   
Gereja: Dapur Bagi Masyarakat
            Secara sederhana, saya bisa mengidentikkan Gereja sebagai  “dapur,” tempat menggodok nilai-nilai cinta kasih dan mengimplementasikan dalam keseharian hidup. Kalau Gereja sebagai dapur maka tugas utamanya adalah meramu, mematangkan seluruh rencana yang mengutamakan orang-orang yang tersisihkan dan menjadi korban dari sebuah permainan. Dalam konteks peristiwa banjir yang lalu di mana Gereja menghimpun bahan-bahan makanan dan memasaknya kemudian membagi kepada masyarakat, Gereja menampilkan diri sebagai “dapur” dan sebagai “seorang ibu” yang peka terhadap persoalan dan berupaya mengatasi persoalan itu.
            Ketika perkawinan di Kana, Bunda Maria begitu peduli terhadap tuan pesta yang mengalami kekurangan anggur. Anggur menjadi minuman primadona dalam masyarakat Yahudi dan menentukan gengsi serta kualitas sebuah pesta. Karenanya, tuan pesta merasa cemas bila mereka kehabisan anggur di tengah gemuruh pesta itu. Rupanya Maria begitu peduli, ia datang dalam pesta perjamuan itu tidak hanya sebagai tamu undangan biasa melainkan sebagai bagian penting dari perhelatan pesta akbar itu. Sebagai bagian dari pesta itu, menjadikan Maria begitu peduli dan mengambil bagian dari kekurangan yang dialami oleh tuan pesta. Kekurangan anggur yang dialami oleh tuan pesta tidak menjadi kecemasan abadi yang terus menghantui tetapi merupakan peluang di mana Yesus bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan penyelenggara pesta itu.    
               Peristiwa banjir tidak semata-mata dilihat sebagai bencana yang bisa “mengubur” mimpi-mimpi emas dari masyarakat tetapi lebih dari itu, peristiwa musiman ini menjadi momentum berharga semua pihak untuk melihat, seberapa jauh sumbangan masyarakat dalam menghadapi dan mengatasi banjir untuk masa yang akan datang. Dengan banjir, semua orang dari pelbagai kalangan bisa bertemu dalam sebuah ruang pengungsian dan sama-sama merasakan diri sebagai orang-orang yang diungsikan.
            Ada banyak peristiwa kekurangan yang dialami saat berada di pengungsian. Situasi seperti ini membuka wawasan para tim penyelamat dan penyalur makanan untuk segera membangun tanggap darurat dalam mengatasi persoalan itu. Banjir memang “musuh” bagi manusia, apalagi bagi mereka yang menjadi langganan setiap tahun. Tetapi melalui peristiwa ini bisa menghimpun orang-orang yang mungkin “bermusuhan” sebelumnya untuk bergandengan tangan dalam menyelamatkan korban yang setia menanti uluran tangan. Banjir, di satu sisi membawa bencana terutama bagi mereka terkena tetapi bisa juga dilihat sebagai berkat dan upaya dalam membangun kepedulian sosial terhadap sesama.***(Valery Kopong)

No comments: