Friday, December 17, 2010

Janji Palsu
Oleh Maria Matildis Banda
pk/nia
Maria Mathildis Banda
Minggu, 5 Desember 2010 | 14:34 WIB

"KATA kekuatan, bagi kebanyakan kita menimbulkan perasaan terganggu. Kita membayangkan kontrol dan dominasi, kemenangan yang menghalalkan segala cara, bahkan sampai mengorbankan orang lain. Padahal sejak awal kehidupan kita diajar untuk menjadi kuat supaya bisa bertahan hidup. Kekuatan ada dalam inti sejarah evolusi manusia, dan inti dari banyak konflik serta penderitaan," demikian catatan yang disimpan dan dibacanya kembali ketika kasus traffiking terbongkar dan menjadi pembicaran publik.

Kata-kata yang dikutipnya dari buku Kekuatan Tanpa Batas, Nick Williams 2005 itu sebenarnya terlalu sulit untuk dipahaminya.
***
Untuk apa kalimat syarat makna itu disimpan? Buat gagah-gagahan ya? Kesannya pemiliknya mengerti benar bahwa kekuatan terdalam ada pada setiap orang untuk bertahan hidup bukan untuk mengorbankan orang lain. Untuk mengatasi konflik juga untuk terbebas dari penderitaan. Bukan untuk menciptakan konflik apalagi membuat orang lain menderita. Dia tidak mengerti benar namun saat ini dia berusaha introspektif terhadap apa yang telah dilakukannya. Janji palsu!

Dia memiliki kekuatan untuk membikin janji palsu. Persis ketika dia mencalonkan diri jadi anggota dewan dulu. Janji palsunya ada seribu. Sekolah gratis, kesehatan gratis, beras gratis, BBM gratis dan lain-lainnya. Untung tidak terpilih. Kemudian ketika mencalonkan diri jadi orang nomor satu pun janji-janji palsu dilontarkan. Buka lapangan kerja, pendidikan keterampilan, bea siswa, dilengkapi dengan janji gratis lainnya. Untung juga tidak terpilih.

"Jangan khawatir kamu akan disekolahkan di Jakarta! Percayalah!" Demikian janji palsu itu ditandatangani. Sejumlah gadis di bawah umur pun terjebak dalam janji palsu. Tembak langsung Jakarta dan sekolah gratis hanya janji. Nyatanya gadis-gadis kita dijebak untuk menjadi tenaga kerja di tanah orang, entah sebagai apa.

Mereka mau diterbangkan tanpa keterampikan apa pun. Buang diri saja ke tengah lautan serba tidak tahu...
***
"Persoalannya mengapa kita tergiur janji palsu?" Tanya Rara.

"Bukan mengapa tergiur janji palsu! Tetapi mengapa tega menipu dan men-trafficking-kan anak-anak gadis kita sendiri?" Sambung Nona Mia.

"Aku hanya mau mengantar mereka menemukan masa depan yang lebih baik. Bekerja di tanah orang, bisa kirim uang buat orang tua, mengubah nasib, bisa perbaiki gubuk menjadi rumah yang layak, bisa beli beras, bisa beli gula kopi, syukur kalau bisa beli HP dan televisi..." Rara membela diri.
"Tetapi kenapa menipu?"

"Bukan menipu tetapi sekadar menipu supaya semuanya berjalan lancar saja!" Sambung Jaki. "Karena tanah lahirnya tidak menjanjikan apa-apa. Tidak sekolah, nganggur, tidak punya keterampilan apa-apa, tidak ada peluang kerja apa-apa, tidak ada apa pun yang dapat diandalkan. Bukankah lebih baik buang diri di tanah orang? Kalau sudah jadi orang, bukankah kita juga senang?"

"Pemerintah akan menolong..." Nona Mia menyambung. Sebagai orang pemerintah dia berusaha meyakinkan. "Mencarikan mereka lapangan kerja, menyekolahkan mereka, menjamin masa depan, menjamin kesejahteraan, menjamin semuanya. Mereka tidak perlu jauh-jauh dijual untuk mencari uang. Di sini saja kita bisa berjuang bukan?" Seru Nona Mia

"He he he he," Jaki dan Rara tertawa. "Sejak kapan pemerintah bisa menjamin semuanya? He he he he..."
"Kita berjuang sendiri Nona Mia," seru Rara. "Rakyat berjuang sendiri memperbaiki masa depannya. Kita punya kekuatan untuk itu!"

"Termasuk kekuatan menipu dan menjual gadis-gadis kita?"
***
"Itulah gunanya kita-kita ini bukan?" Benza memberi jalan keluar. "Benar, kita berjuang sendiri tetapi pemerintah pun berjuang sendiri. Kalau semua kita berjuang sendiri-sendiri demi kesejahteraan bersama, beginilah akibatnya. Karena itulah kita harus berjuang bersama. Pemerintah tidak berjuang sendiri kita pun tidak berjuang sendiri. Kekuatan kita mesti disatukan untuk mencapai cita-cita masa depan," demikian Benza berpidato. "Kekuatan yang mempersatukan, bukan kekuatan yang menjerumuskan orang lain! Persis seperti yang sedang kamu lakukan sekarang!"

"He he he Benza sejak kapan kamu menjadi pengacaranya Nona Mia. Kamu orang pemerintah ya? Kamu sama Nona Mia? Cocok deh!"

"Kalau betul demikian, kenapa?" Tantang Benza.
"Sejak kapan Benza?" Tanya Rara

"Bukankah Nona Mia baru kebakaran jenggot dan
mati-matian membela rakyat setelah sudah jadi makanan publik? Mau cari nama ya? He he he," Jaki menyambung. "Benar-benar penyakit Indonesia. Ada korban dulu baru kaget setengah mati. Mau membela rakyat ceritanya? Penyakit lama penyakit kambuhan..."

***
Wajah Nona Mia merah padam. Baru kali ini dia tidak dapat menangkis. Benza pun kehilangan muka. Dibacanya kembali catatan tangan Nick Williams yang ditinggalkan Jaki dan Rara. "Kata kekuatan bagi kebanyakan kita, menimbulkan perasaan terganggu. Kita membayangkan kontrol dan dominasi, kemenangan yang menghalalkan segala cara, bahkan sampai mengorbankan orang lain..."

Sebagai orang pemerintah, berada dimanakah sebenarnya Nona Mia dan Benza sekarang? Memiliki kekuatan yang mengganggu ataukah menenangkan dan memenangkan? Melemparkan janji palsu ataukah janji palsu? Apa pun jawabannya tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa begitu banyak gadis-gadis kita terjual ke tanah rantau...*

No comments: