Ketika
mengajar mata pelajaran Agama Katolik pada anak-anak, sesungguhnya saya sendiri
juga terus belajar terutama tentang pendalaman terhadap Kitab Suci. Banyak
orang Katolik, apabila disuruh untuk membaca dan mendalami Kitab Suci, biasanya
menghindar dengan pelbagai alasan. Ada yang mengatakan bahwa Kitab Suci itu
kurang menarik untuk dibaca dan ada juga mengatakan bahwa biarlah Kitab Suci
dibaca dan ditafsir oleh para ahli Kitab Suci. Kita umat hanya sebagai
pendengar setia. Beberapa alasan ini memang cukup masuk di logika namun dengan
semakin menghindar untuk tidak membaca Kitab Suci, berarti pada saat yang sama,
semakin kita kurang mengenal siapa itu sesungguhnya Yesus.
Santo Hironimus pernah mengatakan bahwa siapa yang tidak membaca Kitab Suci maka ia tidak mengenal Kristus. Pernyataan ini sangat menyentuh kesadaran kita untuk memahami esensi dasar Kitab Suci yang memuat pengalaman iman umat Israel (Kitab Suci Perjanjian Lama) dan mengenal Kristus serta ajaran-ajaran-Nya (Kitab Suci Perjanjian Baru). Dengan sentilan kuno seorang Hironimus memberikan gambaran pada kita bahwa Kitab Suci memberikan informasi dan sekaligus penguatan iman pada kita jika kita mengakrabi Kitab Suci itu. Cara sederhana mengakrabi Kitab Suci adalah dengan membaca. Membaca Kitab Suci adalah sebuah cara untuk membangun keintiman personal dengan Kristus sebagai tokoh iman.
Setiap orang yang membaca Kitab Suci, tentu memiliki daya tarik tersendiri terhadap kitab tertentu dengan pelbagai alasan. Jika membaca Kitab Suci Perjanjian Lama, satu kitab favorit saya adalah Kitab Pengkhotbah. Ketertarikanku pada Kitab Pengkhotbah tentu dengan pelbagai argumen, terutama si Pengkhotbah sendiri mengajak kita untuk merenungkan tentang waktu dan memulainya dengan sedikit pesimis. Tema utama Kitab Pengkhotbah adalah “ketiadaan makna dari segala sesuatu yang bersifat duniawi: “Kesia-siaan belaka,” kata sang pengkhotbah, “kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh 1:2,14; 12:8). Gagasan utama ini dikemukakan dengan berbagai macam variasi. Membaca Kitab Pengkhotbah ini sepertinya mengajak kita untuk terus merenungkan tentang kehidupan yang hari ini kita lalui, dan besok generasi lain melalui jalur waktu yang sama.
Perputaran waktu dan pergeseran generasi, namun bumi tetap ada. “Sungai-sungai mengalir ke laut tetapi laut juga tidak menjadi penuh.” Siklus kehidupan yang diungkapkan oleh Pengkhotbah ini memberikan gambaran tentang manusia dan perputaran waktu yang bisa mengubah segalanya.
Pengkhotbah
atau sering disebut sebagai “Qohelet” memandang sesuatu dalam kekosongan bahkan
kesia-siaan sebagai bagian dari proses pencarian manusia dan refleksi di bawah
kolong langit ini. “Untuk apa kita berjerih lelah di bawah terik matahari ini? Angkatan
yang satu pergi dan angkatan yang lain datang, namun bumi tetap sama.” Dalam
rentang refleksi tentang rotasi waktu, hanya manusia yang larut di dalamnya.
Allah tetaplah abadi.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment