Thursday, November 24, 2022

Filosofi Bola

 

Beberapa hari belakangan ini, obrolan seputar bola sedang menghangat pada setiap lini kehidupan. Di warung-warung kopi dan angkringan, sambil menyeruput minuman kopi jahe, topik tentang bola terus digelindingkan sebagai cara menghidupkan piala dunia, walau jarak antara Qatar sebagai tempat perhelatan piala dunia dan angkringan itu, mirip langit dan bumi, begitu jauh. Bola memberikan spirit, tak hanya pada laga hijau tanah lapang namun menembus jiwa para penonton. Ketika kesebelasan Arab membobolkan gawang dan menggetarkan jaring pada lini pertahanan Argentina, para fans Argentina sepertinya murung dan kehilangan selera makan. Bentangan kekalahan Argentina, negeri yang menghasilkan benih-benih pemain bola dunia harus bertekuk lutut di bawah “banana kick” pemain Arab.

Tak lama berselang, keesokan harinya kesebelasan Jerman bertarung melawan Jepang, ternyata negeri Samurai itu “memburai” gawang team banser yang terkenal garang pada piala dunia sebelumnya. Semua yang terjadi itu, baru langkah awal. Ini baru babak penyisihan, artinya masih ada peluang untuk bertarung meraih tiket supaya bisa masuk pada babak selanjutnya. Pada tahap penyisihan dengan kekalahan pada negara-negara bergengsi dan sangat disegani dalam piala dunia, harus tunduk sembari mengamini kemenangan lawan.

Piala dunia yang sedang berlangsung ini tidak hanya menggema di negara-negara yang terkenal dengan pemain sepak bola tingkat dunia. Namun Indonesia yang tak pernah masuk piala dunia pun lebih sibuk menonton dan bahkan menjadi komentator terbaik menurut para analis bola Indonesia. Riuhnya penonton Indonesia yang duduk di depan layar kaca, menunggu dengan jantung setengah berdenyut, menuruti alur permainan klub kesayangan.  Orang-orang Indonesia sebagai penonton aktif, terus memberikan spirit pada klub kesayangan. Dalam satu rumah saja, masing-masing anggota keluarga pasti memilih klub kesayangan dan pada akhirnya membuka pertarungan ini menjadi ramai. Bola memang bundar dan terus menggelinding di lapangan hijau. Bola tak sekedar kulit dan diisi dengan angin, namun lebih dari itu ada filosofi bola yang terus menghipnotis para penonton hingga pada akhirnya orang gila pada bola.


Bagi seorang pemain bola, “Setiap detik adalah final bagi kehidupan.” Karena itu para pemain, sebelum bertanding harus mempersiapkan diri secara matang. Mungkin selama ini Arab lebih serius melatih strategi dan membangun stamina untuk menghadapi lawan di lapangan hijau. Atau juga Jepang berani mempertaruhkan reputasi untuk mengangkat nama Asia semakin bergengsi dengan menekuk Jerman di babak penyisihan. Arab, Jepang barangkali di mata Argentina dan Jerman kurang diperhitungkan. Mungkin juga penonton tak memperhitungkan Arab dan Jepang yang bisa memenangi lawannya. Dan di arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan, selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?”***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

No comments: