Ketika
menjelang Pemilu, terutama Pilpres yang akan terjadi pada tahun 2024, biasanya
para ketua umum partai memainkan peranan penting. Namun Pilpres yang akan
terjadi pada tahun 2024, figur Jokowi juga memainkan peranan penting terkait
arah dukungan pada salah satu figur capres. Memang Jokowi masih berada dalam
naungan PDIP tetapi bukan berarti beliau tidak punya suara untuk menentukan
capres nanti. Jika figur capres yang akan diputuskan oleh PDIP sesuai dengan
kriteria Jokowi maka beliau langsung memberikan dukungan. Namun andai kata,
figur yang diusung sebagai capres oleh PDIP yang tidak sesuai dengan kriteria
Jokowi maka kemungkinan besar, Jokowi bisa memberikan rekomendasi figur lain pada koalisi Indonesia Bersatu
yang selama ini memberikan angin positif pada Jokowi.
Mengapa Jokowi bisa diandalkan dalam memberikan rekomendasi terhadap figur capres untuk tahun 2024? Jawabannya sederhana, yakni Jokowi mempunyai relawan tangguh yang bekerja selama ini untuk memenangkan Jokowi pada Pilpres yang telah berlalu. Beberapa kali Jokowi menghadiri acara yang diselenggarakan oleh para relawannya dan memberikan peringatan, “ojo kesusu,” artinya jangan buru-buruh menentukan capres dan jangan buru-buru mendeklarasikan capres saat ini. Apa yang dikatakan Jokowi ini sebagai “warning” bagi setiap partai untuk mempersiapkan figur secara matang dan diterima oleh publik. Kriteria itu tidak sekedar mantan gubernur tetapi rekam jejak masa lalu bisa memberikan informasi pada masyarakat yang pada akhirnya menentukan pilihan bijak.
Memahami naluri politik Jokowi sepertinya membaca “siluet” yang sulit ditebak oleh lawan-lawan politik. Langkah politik Jokowi terkesan lamban namun pasti dan menukik. Filosofi letak keris Jawa bisa memberikan gambaran tentang cara berpolitik ala Jokowi. Ketika mengenakan pakaian ada Jawa, biasanya keris ditaruh pada posisi belakang. Sebagai lelaki Jawa, tidak sekedar untuk mengenyampingkan posisi keris itu tetapi ketika menelusuri kedalaman makna dan mengaitkan dengan tindakan politis, ada korelasi makna. Keris itu kelihatan kecil namun bisa menusuk dari belakang dan mematikan.
Dalam strategi perang, keris tidak diperlihatkan pada lawan, artinya bahwa lawan juga sulit membangun strategi untuk membela diri dan mematahkan lawan. Situasi ini agak berbeda ketika kita membandingkan dengan cara orang-orang Timur Indonesia, selalu memperlihatkan senjata saat melakukan peperangan. Memang ada baiknya memperlihatkan senjata perang untuk menakutkan lawan, namun dengan itu lawan bisa dengan mudah mencari strategi untuk mematahkannya.
Mungkin terlalu jauh jika kita menganalisah keterkaitan antara senjata dengan langkah-langkah politik. Namun dalam berpolitik, mirip peperangan, ada yang harus dikalahkan melalui pertarungan demokrasi (pemilu) dan cara-cara tidak terpuji bisa dilakukan, mirip tusukan keris dari belakang yang sanggup mematikan lawan. Berpolitik itu harus tahu strategi untuk mengalahkan lawan. Jokowi telah menjadi pemenang dalam pertarungan demokrasi.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment