Tuesday, June 15, 2010

K E M A H

Oleh: Valery Kopong*

TANGGAL 21 malam, bulan November 2009 waktu itu. Di tengah mendung menggelayut langit sekolah Tarsisius Vireta, ada banyak kemah berdiri tegak di jantung halaman sekolah. Dalam sorotan api unggun yang memikat, seakan membakar kesadaranku untuk selalu berjaga dan berjaga. Anak-anak SD Vireta tengah mendesis di ruang kemah itu yang seakan mengundang kemarahan dari kak Pembina. Tapi apakah mereka yang berkemah adalah potret simpel dan simbol dari sebuah kehidupan yang fana?
Sembari menjaga anak-anak yang berkemah, beberapa guru sedang asyik menonton film yang mengisahkan tentang dunia akhirat yang bakal terjadi di tahun 2012. Dengan tatapan yang sedikit mengecil, mereka mulai berdiskusi, apakah kiamat benar-benar terjadi di tahun 2012? Film yang ditonton adalah sebuah potret gelisah manusia saat berhadapan dengan akhirat, sebuah lembar kehidupan akhir yang ditutup secara tragis. Tapi benarkah itu?
Menonton film dan mengamati anak-anak yang sedang berkemah membuka ruang pemikiran untuk membersitkan 2 sisi kehidupan yang bersinggungan makna. Film akhir zaman, garapan Amerika memprediksikan keberakhiran dunia dan perkemahan merupakan simbol kesementaraan waktu. Kemah, simbol kesementaraan hidup menjadi titik dasar pemahaman bahwa hidup hanyalah sebuah singgahan sementara. “Suatu saat Allah akan datang dan membongkar kemah kehidupan kita.” Jika kemah itu dibongkar maka tamatlah riwayat hidup ini dan manusia hanya menunggu saat yang paling genting untuk membiarkan diri dan kemah dibongkar oleh Allah sendiri. Allah, di satu sisi menjadi Sang Arsitek dan pada sisi lain, dalam pandangan dunia akhirat, Allah yang sama datang sebagai pembongkar kehidupan ini.
Dunia dan penghuni di bawah kolong langit masih berbincang dalam nuansa kecemasan akan datangnya kiamat. Seolah-olah apa yang difilmkan memaksa sebuah kenyataan untuk segera merealisasi kiamat. Film hanyalah sebuah miniatur yang memburai kesadaran manusia untuk memahami masa parusia. Komersialisasi film perlahan terwujud ketika manusia semakin panik sambil mencari sekeping kaset sebagai dokumentasi hidupnya.
Allah dalam kesunyian sedang merekam kepanikan manusia yang seakan menggantungkan nasibnya pada sang sutradara film. Ia (sang sutradara) telah sanggup menembus pasaran dunia dan mengganggu ketenangan manusia lewat sekeping VCD. Dalam penyerangan kesadaran manusia melalui film yang aktif itu, film mengenai kiamat lalu bermetamorfosa menjadi milik orang banyak. Dengan kata lain, film adalah sebuah keberpihakan. Dan ketika seluruh penikmat film bergemuruh oleh riuh gerak, wicara dan kata-kata, tontonan yang asyik pun berubah menjadi sebuah prosa. Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal, di kota besar, di sehari-hari kita. Allah telah membimbing kita ke tempat yang lapang (Ehr Fuhrte mich inz weite) untuk ditantang dan membuat sebuah refleksi, tentang hidup, perjuangan dan kiamat. Malam semakin larut, kutemukan diriku sedang menatap kemah yang sementara dan tontonan film yang manipulatif. ***

0 komentar: