Wednesday, June 16, 2010

P A M I T

DELAPAN TAHUN menggeluti dunia pendidikan, membuka “ruang” pemikiran dan keterbukaanku untuk belajar tentang banyak hal. Belajar tentang ilmu sosial memungkinkan saya untuk menganalisis pelbagai hal dan seluruh permasalahan yang sedang dihadapi oleh manusia. Disiplin ilmu sosial yang tidak memiliki alat ukur yang pasti dan hal ini mengharuskan aku untuk terus menganalisis dengan “pisau pemikiran” yang tajam. Tetapi apakah setelah tidak mengajar lagi sosiologi, aku harus berhenti dari segala kegiatan berpikir terutama menganalisis pelbagai persoalan sosial, baik politik, ekonomi dan persoalan-persoalan lain? Menganalisis sebuah persoalan tidak perlu mengharuskan saya sebagai seorang guru. Guru hanyalah sebagai profesi yang sedikit membantu untuk mempelajari ilmu yang digeluti. Tetapi selepas dari guru, aku memutuskan diri untuk menganalisis pelbagai persoalan sambil tetap menjalani tugas utama saya sebagai seorang Penyuluh Agama Katolik di Kementerian Agama Kabupaten Tangerang.
Tanggal 12 Juni 2010, hari Sabtu waktu itu. Di atas meja saya ada tergeletak sebuah surat dari Yayasan Bunda Hati Kudus yang isinya tidak memperpanjang kontrak kerja sebagai guru sosiologi di SMA Vianney, Cengkareng. Begitu cepat, mendadak dan surat ini seperti mengharuskan saya untuk segera meninggalkan Vianney. Aku lalu bertanya, inikah potret Bunda tak berhati?
Aku mulai berkemas. Seluruh soal mata pelajaran sosiologi aku singkirkan semua. Buku-buku pribadi dan foto-foto kenangan yang terpajang di meja kuambil sebagai kenangan berharga dan mengingatkan aku bahwa aku pernah menjadi guru. Pada tanggal 12 Juni pagi itu, bertepatan dengan pelepasan siswa-siswi kelas XII yang telah lulus ujian akhir, aku sepertinya terhanyut dalam suasana pelepasan. Ada elegi pisah yang terbangun sejak dimulainya perayaan ekaristi dan acara ramah tamah. Aku masih ingat bahwa sebelum Yesus menjalani sengsara, Ia lebih dahulu makan bersama para murid-Nya. Dalam acara makan bersama, Yesus juga meninggalkan sebuah tradisi pelayanan yang terlihat pada peristiwa pembasuhan kaki para murid-Nya. Pembasuhan kaki menjadi tanda kerendahan hati seorang “guru” terhadap para murid-Nya. Dalam perayaan ekaristi itu, teks Injil yang dibaca tentang bagaimana Yesus menampakkan diri pada Petrus dan beberapa murid-Nya yang sedang menjala ikan. Teks Injil ini menjadi menarik karena Yesus menyuruh Petrus untuk melabuhkan jalanya di sebelah kanan. Apa jawab Petrus? Sudah semalaman kami mencari ikan tetapi tak satu pun yang kami dapat! Ini merupakan reaksi manusiawi seorang Petrus tetapi karena Ia mengenal Yesus sebagai guru dan Tuhan maka apa yang dikatakan-Nya dijalani juga.
“Bertolaklah lebih ke dalam.” Apa yang dikatakan oleh Yesus menjadi sebuah pertanyaan besar dalam diri Petrus dan kawan-kawan yang hendak menangkap ikan lagi. Tetapi di sini, dapat dilihat bahwa Yesus begitu paham tentang kondisi laut dan daerah-daerah mana saja yang menyimpan banyak ikan. Wawasan bahari Yesus yang luas terbukti di sini. Ketika melabuhkan jala di sebelah kanan perahu, mereka mendapatkan ikan yang begitu banyak. Mereka menuai kegembiraan karena telah mendapatkan ikan yang begitu banyak.
Sebagai murid Yesus, saya pun menyadari bahwa selama delapan tahun menggeluti dunia pendidikan, “mungkin” saya sedikit sekali memberikan keberhasilan demi pengembangan SMA Vianney. Banyak siswa-siswi yang mungkin pernah tidak lulus atau tidak naik kelas karena pelajaran sosiologi yang saya ajarkan. Pelajaran saya sepertinya menjadi batu sandungan bagi mereka yang ingin mengalami kesuksesan. Barangkali “jala” sosiologi yang saya pasang tidak memenuhi kriteria sehingga target yang didapatkan juga tidak maksimal. Melalui injil yang diperdengarkan pada acara temu-pisah membuka “horizon” baru bagi saya untuk melabuhkan jala di tempat yang lain dan mungkin oleh Tuhan sendiri, jala itu sudah disiapkan, tinggal saja bagaimana membuka hati bagi Tuhan untuk mendengar bisikan-Nya agar jala yang dilabuhkan lebih mengena pada sasaran.
“Jangan labuhkan jala lagi di dunia pendidikan.” Ini merupakan bahasa pelesetan yang mengharuskan seorang penjala mesti pandai membaca tanda-tanda zaman. Membaca tanda-tanda zaman berarti mengasah kepekaan sosial dan berani membenamkan diri dalam “lautan zaman.” Allah senantiasa menuntun umat-Nya hingga akhir zaman. Seperti umat Israel yang dibimbing oleh Allah lewat Musa menyeberang laut merah dan mengembara menuju tanah terjanji, dan tentunya Allah yang sama sedang menuntun saya menuju “tanah” yang baru yang telah disediakan bagiku. Di sana terdapat kelimpahan susu dan madu. Mungkinkah pamitku dari Vianney menjadi titik awal pengembaraan menuju tanah terjanji? (Valery Kopong)

0 komentar: