Thursday, December 12, 2019
Saturday, November 16, 2019
PESAN-PESAN BERMAKNA DARI BALIK JERUJI BESI
Setiap
hari Selasa, saya dan dua teman penyuluh Agama Islam mengadakan kunjungan ke
Polsek Pamulang-Kota Tangerang Selatan-Banten. Sasaran kunjungan kami adalah
kelompok tahanan sementara yang mendekam di sel tahanan yang berukur kecil
itu. Sekitar duapuluhan orang yang setiap minggu di tahan di Polsek Pamulang
dengan kasus yang begitu beragam. Ada yang ditangkap karena narkoba,
pencurian motor, perkelahian dan beberapa kasus lain. Selama
berkunjung ke tahanan, saya dan dua teman penyuluh muslim memberikan bimbingan
rohani kepada para tahanan. Memang, disadari bahwa bimbingan yang dilakukan itu
tidak memberikan perubahan yang maksimal, tetapi yang terpenting adalah mereka
(para tahanan) merasa dikunjungi dan disapa oleh kami. Seberapa jauh para tahanan menyadari diri dan
mengadakan sebuah perubahan dari balik jeruji besi?
salah seorang penghuni tahanan di Polsek Pamulang |
Bimbingan dari Balik Jeruji Besi
Pola pembinaan yang kami
laksanakan terhadap para tahanan di Polsek Pamulang dan mungkin juga di polsek-polsek
lain, sedikit berbeda dengan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Selain
karena tempatnya yang tidak terlalu luas, tetapi secara psikologis, para
tahanan sementara di polsek tidak diperbolehkan keluar dari ruang jeruji yang
pengap. Kondisi kejiwaan mereka masih labil dan memberontaki situasi. Para
tahanan tidak menerima diri sebagai tahanan yang terpenjara, tidak bebas
bergerak. Memang harus dipahami bahwa
manusia sebagai makhluk yang bebas tetapi karena kesalahannya maka ia ditangkap
dan dipenjara.
Penulis bersama Haji Ahmadi saat memberikan bimbingan |
Friday, November 15, 2019
Tuhan Tidak Adil
Suatu sore yang sedikit mendung,
tepatnya pada Selasa, 12 November 2019. Sepulang kerja, aku mendapatkan berita
duka dari tetangga bahwa anaknya Clarisa yang masih setahun usianya harus
meregang nyawa saat berada bersama dengan pembantu yang momong. Tragedi ini di
luar dugaan dan sulit dicerna dengan nalar manusia. Kedua orang tuanya yang
saat itu masih berada di tempat kerja, seakan disambar petir di siang bolong
karena mendengar berita kematian puteri mereka yang lucu. Orang tuanya Clarisa
terus memberontak bahkan menyalahkan
Tuhan tidak adil terhadap mereka. Tuhan tidak membiarkan puteri mereka
bertumbuh di tengah-tengah keluarga dan
“terpaksa layu” di tengah harapan.
Thursday, November 14, 2019
Tanah Air Mata
(Sebuah telaah puisi kontemporer
dari sudut sosiologi
Sastra)
Oleh: Valery Kopong*
Sutardji
Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus
mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri
khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan
sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya.
Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun
jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang
berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang
Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata
bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan
sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui
puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan
pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi
kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan
diri melalui puisi?
Wednesday, November 13, 2019
Sastra dan Seksualitas, Keindahan yang Tercemar
MEMBACA beberapa karya sastra berupa novel, para
sastrawan terkadang secara vulgar menampilkan suatusituasi riil yang
sering dialami oleh manusia. Tulisan yang mengangkat masalah biasa yakni
seksualitas yang sering menimbulkan suasana luar biasa ini tidak lain
merupakan bentuk revolusi dari sastrawan yang menggunakan pintu
kesusastraan sebagai jalur penyadaran bagi masyarakat tentang
penghargaan terhadap perempuan dan terutama menghargai seksualitas
sebagai yang terberi dari Sang Pencipta. Menelusuri penulisan ini muncul
suatu pertanyaan nakal untuk direnungkan. Mengapa para sastrawan harus
memilih jalur kesusastraan sebagai media penggugah nurani penghuni
kolong langit ini? Masih kurangkah tulisan-tulisan yang termuat dalam
pelbagai pers yang umumnya menyertakan data dan dilengkapi foto-foto
yang akurat yang berbicara tentang seksualitas?
Ahmad
Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, telah menggambarkan suatu
kondisi dilematis yang menjadi pilihan pahit seorang perempuan yang
diwakili oleh Srintil, tokoh utama dalam penceritaan itu. Srintil
sebagai penghadir figur lama, yakni peronggeng ulung yang telah
meninggal harus menuruti aturan sebelum dikukuhkan sebagai peronggeng
baru. Beberapa aturan dalam ritus pengukuhan telah dijalani dengan baik
dan terakhir tuntutan yang dipenuhi adalah sayembara pembukaan
keperawanan. Sebuah acara bernuansa vulgar begitu memikat pemirsa,
terutama laki-laki yang haus akan seks untuk mengikutsertakan diri dalam
sayembara bergengsi itu.
Dalam konteks
kesastraan, seorang novelis terasah kesadaran untuk membentangkan
seluruh refleksi yang bernada sastrawi untuk berpihak pada kenyataan
yang ada. Perempuan dalam sosok seorang Srintil, menampilkan sikap penuh
lugu dan menuruti acara ritual yang diselenggarakan. Dapat dipahami
yaitu bahwa tokoh Srintil yang ditampilkan adalah seorang gadis bocah
yang apabila dilihat dari kebutuhan biologis, ia belum meminati untuk
dipenuhi kebutuhan itu. Tetapi mengapa, dengan latar kesusastraan yang
suram dan seram ini, Srintil dicebloskan ke dalam “malam sayembara
keperawanan” yang menuruti orang yang dikorbankan tidak tahu sama sekali
tentang seksualitas.
Seksualitas dalam catatan
seorang sastrawan tidak dilihat sebagai aib publik, melainkan
menunjukkan sebuah keterbukaan masyarakat untuk secara jernih melihat
aib ini sebagai sebuah kebutuhan ritual yang diterima sebagai tuntutan
yang mesti dijalani. Di sini, Ahmad Tohari dengan kekuatan daya susastra
seakan menggiring kesadaran para peminat sastra untuk memahami secara
detail tentang makna acara ritual pengukuhan seorang peronggeng baru
yang dilihat sebagai suatu keharusan yang mendakwa.
Tuesday, November 12, 2019
Jejak Kaki
Ketika melakukan pembinaan
di beberapa sekolah, biasanya saya mengamati fasilitas sekolah dan pola
perilaku siswa/siswi yang bisa mencerminkan wajah sekolah yang sebenarnya. Dari sekian banyak sekolah yang saya kunjungi
itu, umumnya biasa-biasa saja dan tidak memberikan sebuah “daya kejut” bagi
siapapun yang datang. Namun ketika diminta untuk datang ke sekolah Insan
Teratai pada tanggal 17 Juli 2018, saya berjumpa dengan pelbagai keunikan di
sekolah ini. Siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di Insan Teratai umumnya
dari latar belakang kehidupan ekonomi yang kurang mapan dan orang tua siswa/i
merasa memiliki sekolah bahkan menjadi bagian dari Insan Teratai. Orangtua
terlibat di dapur dan membersihkan lingkungan sekolah karena merasa sebagai
bagian dari keluarga besar Insan Teratai.
Monday, November 11, 2019
Barnabas (Anak Penghiburan)
Sebanyak 460 ketua-ketua lingkungan dari
paroki yang ada di Dekenat Tangerang I mengikuti rekoleksi bersama Mgr.
Ignatius Kardinal Suharyo, bertempat di gedung pastoral, Paroki Curug, Gereja
Santa Helena. Di hadapan para ketua lingkungan, Kardinal mengucapkan terima
kasih atas kehadiran dan terutama para ketua lingkungan telah mengambil bagian
dalam pelayanan umat di wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Bapak/ibu sudah
berkorban waktu dan menjalankan tugas perutusan ini. “Sampaikan juga salam
untuk para mitera kerja di lingkunganmu dan juga keluargamu.”
Monday, October 28, 2019
Mencontohi Paulus
Minggu, 27 Oktober 2019 merupakan hari
yang istimewa bagi Paroki Kutabumi, Gereja Santo Gregorius Agung, Tangerang. Paroki
Kutabumi mendapatkan kunjungan dari Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo untuk
menerimakan sakramen krima bagi 282 calon krisma yang sudah dipersiapkan secara
baik oleh para katekis. Walaupun kedatangan Bapak Kardinal ke paroki tepat
pukul 07.00 tetapi anak-anak calon krisma dan para pendamping sudah siap di
gereja mulai pukul 06.00.

Gereja Perlu Bermimpi
Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan
“Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak
orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh
persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban
atas tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni “Mari
Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan
yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak
lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka
“dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu.
Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat dan kemudian lenyap? Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.
Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat dan kemudian lenyap? Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.
Wednesday, October 23, 2019
Kepulan Asap
Di traffic lightdengan
lampu-lampunya kian redup itu. Deru knalpot-knalpot kota terus
membahana mengusik ketenangan manusia-manusia puntung. Deburan asap
membubung ke langit semesta, membuat kota itu semakin kabut lantaran
jemari sang mentari sulit menggapai bumi. Tetapi apakah di tengah
hiruk-pikuk kota yang semrawut semakin memastikan mereka dengan tangan
terulur terus meminta-minta? Sampai kapankah tangan mereka berhenti
meminta?Hanya waktulah yang memastikan denyut nadi kehidupan mereka,
entah kapan.

Hampir
setiap hari, orang-orang kusta tidak pernah sepi menjejali jalan utama.
Mereka terbuang dari bibir nestapa dan penyakit yang terus menggerogoti
hidup yang kian kejam. Orang-orang kusta sepertinya sudah ditakdirkan
sebagai manusia sisa yang terkena kutuk dari Allah. Mereka tersingkir
dari pergaulan umum karena masyarakat jijik dan takut terjangkit
penyakit yang parah itu. Saya melihat dan membandingkan kehidupan orang
kusta di Tangerang dan Lembata (Flores) yang terhimpun pada Rumah Sakit
Lepra, Santo Damian, terkesan ada perbedaan yang sangat tajam. Perbedaan
itu terlihat dari perhatian dan pemberian hidup yang layak bagi mereka
yang sudah menjadi eks kusta.
Saturday, September 14, 2019
FILOSOFI BOLA KAKI DAN IDEOLOGI GOL
Oleh: Valery Kopong
“Setiap
detik adalah final bagi kehidupan,” demikian Penyair Frans Kafka. Ketika setiap
orang melihat lini kehidupan adalah final maka masing-masing orang
mempersiapkan diri secara matang dalam proses pertarungan hidup. Frans Kafka
memposisikan diri sebagai bek kanan untuk mempertahankan gawang dari bobolan
lawan yang mungkin juga menembus kelambu yang terlilit rapih melalui tendangan
pisang (babana kick). Tetapi untuk meraih titik kulminasi (final) perlu adanya
kegesitan. “Mereka yang lambat tak ikut bermain, demikian kata Plato, si filsuf
dari Yunani, negara pendekar demokrasi pertama. Plato, dalam susunan the dream
team ala Kolumnis Thomas Grassberger, ia mendapat kehormatan sebagai kapten
kesebelasan. Ia terpilih karena menyukai tempo yang tinggi, sekaligus idealis
dan desainer dalam menata pola permainan yang artistik. Dalam pola penataan
permainan, barangkali ia tersulut oleh pendamping Kafka di sektor kiri yakni
Arno Schmidt. Arno Schmidt dikenal sebagai pendekar apokaliptik yang terus
menuntut manusia untuk tergesa-gesa. Bagi Schmidt, setiap hari Sabtu adalah
musim kompetisi di mana setiap manusia harus bertanding dan bertanding. Dan di
arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan,
selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona
tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola
permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini:
“Maukah Anda menang atau kalah?”
Wednesday, September 11, 2019
Tawa Sang Guru

Friday, August 23, 2019
Sepotong Doa
Di Getzemani dalam balutan ketakutan
Engkau bersandar pada sepotong doa
Tetapi bukan atas kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu”
Dalam peluh-Mu berdarah
Kutemukan kemanusiaan-Mu terdalam
Namun atas kehendak Bapa-Mu
Engkau mereguk perintah-Nya
dan melumat kebenaran
Pasrah-Mu membawa selamat bagi kami
Tangerang, 20 Agustus 2019
Valery Kopong
Tuesday, August 20, 2019
Hidup Di Alam Kemerdekaan
Bangsa pilihan Allah
bertahun-tahun hidup dan menetap di Mesir. Sejak Yusuf menjadi petinggi di
negeri itu dan pada peristiwa kelaparan, Yusuf menyuruh saudara-saudaranya
serta orang tuanya untuk segera ke Mesir agar terbebas dari ancaman kelaparan. Titik
awal untuk tinggal di Mesir, memberikan
peluang bagi mereka untuk bisa hidup.
Semakin lama mereka semakin berkembang bahkan menyaingi jumlah penduduk
Mesir. Apakah mereka hidup di Mesir maka mereka berada pada situasi yang
menyenangkan? Tidak!! Banyak perlakuan di luar batas kemanusiaan dan bahkan
mereka tetap diminta untuk kerja paksa. Sebagai bangsa pilihan Allah, Israel
tidak dibiarkan untuk tetap berada dalam penindasan.
Friday, August 16, 2019
Jadilah Kehendak-Mu
Berbicara
tentang Bunda Maria, berarti berbicara tentang tawaran keselamatan. Allah mengutus malaikat Gabriel untuk menyampaikan
kabar gembira bahwa Maria dipilih oleh Allah untuk menjadi ibu Tuhan. Kabar
gembira ini bisa dikatakan juga sebagai “kabar yang membawa kegalauan” bagi
Maria. Mengapa Maria mengalami kegalauan
saat menerima tawaran untuk menjadi ibu Tuhan? Karena menerima tawaran ini
penuh dengan pelbagai resiko, yakni bersedia mengandung seorang anak yang akan
diberi nama Yesus walaupun belum bersuami. Resiko sosial menjadi titik pergulatan seorang Maria dalam
menerima tawaran menjadi ibu Tuhan. Menerima kabar dari malaikat Gariel berarti
menerima “tawaran keselamatan” sekaligus berani menghadapi resiko sosial yang
akan menimpahnya.
Kesannya kabar yang diterima Maria sederhana.
Seolah-olah Maria sekedar mengatakan “ya” atas tawaran itu. Kitab suci tidak
mendeskripsikan secara detail tentang bagaimana pergulatan batin seorang Maria
sebelum memutuskan diri untuk menerima tawaran itu. Namun dalam kepasrahan
penuh pada Allah, Maria akhirnya juga mengatakan “Fiat Voluntas Tua.” Jadilah kehendak-Mu menjadi sebuah bentuk
kepasrahan diri Maria pada kehendak Allah dan sekaligus membiarkan Allah
bekerja dalam dirinya. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut
kehendak-Mu.” Kalimat ini mengungkapkan kehampaan diri Maria di tengah
pergulatan dan menentukan sikap.
Thursday, August 15, 2019
Atas Nama Cinta Untuk Berkorban
Ketika pertama kali
terbentuknya lingkunganku sekitar empat belas tahun silam, saya diminta untuk
mencari nama orang-orang kudus untuk menjadi nama pelindung lingkungan. Ada
beberapa nama orang kudus dan latar
belakang kehidupannya menjadi bahan pertimbanganku, apakah bisa dijadikan
sebagai nama pelindung atau tidak. Menarik bahwa ada nama Zakheus dalam pusaran
pemilihan nama-nama itu. Saya sendiri tertarik apabila nama Zakheus menjadi
nama lingkunganku. Alasan sederhana bahwa Zakheus, walaupun diberi label
sebagai manusia pendosa tetapi berani membuka diri di hadapan Yesus. Berkat
keterbukaannya maka ia mendapat pengampunan dari Tuhan.
Friday, July 26, 2019
“Kematian Penulis Katolik”
![]() |
Arswendo |
![]() |
Pater A.Heuken, SJ |
Apa peran para penulis
Katolik? Berapa penulis Katolik yang masih aktif menulis di media maupun
buku-buku? Dua pertanyaan ini menjadi pertanyaan kunci dalam menggumuli peran
penulis dan nilai-nilai pewartaan yang
harus disampaikan ke hadapan publik. Dengan cara yang unik mereka mewartakan
nilai-nilai Injili kepada para pembaca
yang setia. Kemasan tulisan yang ditawarkan kepada para pembaca
dibungkus dengan nilai-nilai cinta kasih yang bersumber pada Kristus sendiri.
Dan kemasan yang tidak menonjolkan Kekatolikan ini membuat masyarakat umum bisa
menerima secara baik.
Friday, July 19, 2019
Thursday, July 18, 2019
Wednesday, July 17, 2019
MIMPI-MIMPI LIAR
Malam kini larut dalam hening
Merantau mengail rezeki
Hingga ke benua tak bertepi
Pada titik akhir sebuah perhentian
Ketika hati ini bergolak rindu
Aku menimbah inspirasimu
Ketika masih tegar
Engkau mengembara di padang
Dengan gagah engkau memanggul tombak
Memburuh hewan-hewan liar
Di tanganmu yang dingin
Engkau ajarkan aku
Tentang cara unik menakluk mimpi
Merengkuh binatang liar
Aku pun belajar tentang cara menjinakkan mimpi-mimpi liar
Jadi cita penuh makna
Tangerang, 17 Juli 2019
Tuesday, June 25, 2019
Sang Penari Itu Telah Pergi

Wednesday, June 19, 2019
Jan Ethes
Jan Ethes, cucu
Presiden RI, Joko Widodo selalu menarik perhatian publik. Kehadiran Jan Ethes
di tengah panasnya suhu politik nasional seolah membawa kesejukan tersendiri. Dengan
gayanya yang polos dan atraktif, ia mampu mencuri perhatian publik dan
sekaligus menurunkan tensi politik nasional, sebelum dan sesudah pemilu. Beberapa
hari yang lalu, ketika digelar sidang perdana sengketa pilpres di Mahkamah
Konstitusi dan publik seakan tergiring dengan analisis para advokat yang
membela masing-masing paslon, pada saat yang sama, Jan Ethes sedang berada di
Bali bersama Jokowi. Sempat terekam oleh kamera saat Jan Ethes bersama Jokowi
berjalan menyusuri pematang sawah yang terlihat hijau dan indah.

Monday, June 17, 2019
Nenek Yang Lapar
![]() |
Sumber foto: www.sabdaspace.org |
Hari ini Senin, 17
Juni 2019. Seperti biasa ketika jam makan siang, saya berkesempatan untuk makan
di salah satu warung padang yang terletak di Tigaraksa, dekat dengan pusat
pemerintahan. Setelah makan, saya masih duduk melihat pesan-pesan yang masuk ke
WAku sambil menikmati secangkir kopi yang menjadi langgananku. Memang,
menyeruput segelas kopi sepertinya berada dalam aroma kenikmatan hidup. Rasa lelah
sepertinya terbayar oleh pekatnya hitam kopi dan bangunan imajinasi mulai
muncul secara bernas ketika bersentuhan dengan aroma kopi.
Friday, June 14, 2019
Menyimpan Foto: Memendam Rasa
Sekitar tahun 2003, saya
mengenalmu dan tahun 2004 pengenalanku denganmu lebih dekat karena perkawinan
yang dilangsungkan antara saya dan Yuni, puterimu sendiri. Sejak menikah dengan
anakmu, saya terhitung sebagai menantu dan komunikasi yang dibangun selama ini
sangat baik. Ada spirit dan nasihat-nasihat bijak yang diberikan oleh bapa
Hardi Utomo kepada saya dan keluarga saya. Kata-kata menegakkan kami untuk
menjalani hidup ini tatkala kami merasa lesuh dan jenuh saat menapaki hidup
ini. Kata-kata menyejukkan seperti setetes air yang tengah berada pada “gurun
kembara.”
Tidak hanya kata-kata bijak
dan nasihat lembut yang telah engkau tinggalkan pada kami. Namun tindakan nyata
yang pernah dilakoni olehmu menjadi teladan hidup terbaik bagi kami. Ketika sedang
bermusuhan dengan siapa pun, engkau ajarkan kepada kami agar selalu “menyapa”
walau yang disapa adalah musuh kita. Ajaranmu ini mencontohi Sang Guru Agung
yang selalu mencintai siapa pun, termasuk musuh. Musuh-musuh pun harus disapa
dan didoakan agar “jembatan relasi” yang sempat ambruk oleh buruknya komunikasi
bisa terbangun kembali. Menjadi pertanyaan penting bagi saya, apakah ajaranmu
untuk menyapa musuh bisa saya terapkan? Pertanyaan ini penting bagi saya karena
kita berada pada dua budaya yang berbeda. Saya menganut budaya Lamaholot dan
Adonara khususnya, konsep menyapa seperti yang ditawarkan bapa, terkesan
bertolak belakang dengan latar budaya saya bahwa seorang musuh harus diberanguskan
dan tidak ada ruang komunikasi dalam setiap perjumpaan. Atau meminjam bahasa
kitab suci, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”
Monday, June 10, 2019
Aku Menulis Tentangmu
Kurang lebih dua tahun lalu ketika menyelesaikan
paket C pada pendidikan sekolah menengah atas, keputusanmu untuk “memburuh”
panggilan menjadi calon imam semakin menggebu-gebu. Sebuah niat baik dan ini
direspons oleh keluarga. Tanggal 27 Agustus 2017, bersama bu Yuni, kami
mengantarmu ke Tunas Xaverian di Pandega Asih Yogyakarta. Ketika mengantarmu
masuk ke kamar pribadi, rasanya bahwa Tuhan pasti memanggilmu dengan cara yang
unik. Dikatakan unik karena Helson pernah dikeluarkan dari Seminari San Dominggo
– Hokeng. Walaupun tidak selesai menyelesaikan pendidikan di panti imam yang
penuh aroma kopi itu, engkau hadir di ibu kota – Jakarta dengan bermodalkan
nekad.
foto ketika masuk KPA di Wisma Tunas Xaverian-Yogyakarta |
Setelah menyelesaikan pendidikan di
KPA Xaverian Yogyakarta dan menyelesaikan masa novisiat tahun pertama, kami
sangat mendukung segala usahamu agar cita-citamu menjadi imam bisa tercapai. Namun
pergulatanmu barangkali harus berakhir di Novisiat Xaverian Bintaro. Refleksi-refleksi
harianmu seakan tidak bermakna lagi ketika lamaranmu untuk menerima jubah,
pakaian kebiaraan itu ditolak. Tanggal 3 Juni 2019, pkl.21.24, lewat SMSmu
dengan menggunakan Hp biara, engkau mengabarkan bahwa anda ditolak dan harus
keluar dari biara. Memang, mendengar berita ini sungguh tidak mengenakan,
apalagi saat kami masih menghabiskan waktu liburan lebaran di Yogyakarta.