Tuesday, November 3, 2020

Mengenangmu


Kemarin, tepat tanggal 2 November, terlihat begitu ramai di medsos, terutama dinding Facebook terpampang foto-foto. Tak hanya satu foto yang terpampang tetapi lebih dari satu foto yang dipajang sebagai cara sederhana untuk mengungkapkan “rasa” yang pernah muncul di saat-saat perpisahan abadi itu. Foto-foto yang terpampang memperlihatkan sosok yang pernah ada dan hidup bahkan pernah mengukir sejarah yang menarik. Dengan memposting foto-foto itu ada kenangan lama terulang kembali dan rasa memiliki itu semakin kental menggelayut hati. Pemajangan foto-foto ini hanya dilakukan oleh orang Katolik saja karena pada tanggal 2 November itu, Gereja Katolik secara khusus memperingati arwah semua orang yang sudah meninggal.

Mengapa orang yang sudah meninggal mesti dikenang kembali dan bahkan didoakan? Ini merupakan pertanyaan dari orang-orang yang berada di luar Gereja Katolik yang tidak memiliki kebiasaan untuk mengenangkan orang-orang yang sudah meninggal itu. Gereja Katolik dalam perjalanan sejarahnya, memiliki tradisi yang unik dan bisa dikembangkan untuk  memperkaya iman kekatolikan. Gereja Katolik dalam upaya mengembangkan imannya, tidak hanya berkutat pada kitab suci saja tetapi juga pada tradisi dan magisterium Gereja.

Doa-doa yang dikembangkan dalam Gereja Katolik, banyak juga merupakan warisan tradisi yang mempengaruhi perkembangan iman kita. Doa menjadi kunci utama dalam membangun relasi dengan Tuhan karena di dalam doa itu ada ujub dan pengharapan dari si pendoa. Berkaitan dengan momentum peringatan arwah orang-orang yang sudah meninggal, keluarga-keluarga yang ditinggal berusaha untuk membangun doa dan menghadirkan kembali sosok yang pernah ada itu dengan memperlihatkan foto-foto yang dipajang. Memang, cara ini terlihat sederhana tetapi menggambarkan sebuah relasi yang intens dan membongkar memori masa lampau tentang orang-orang yang pernah dan kini menjadi penghuni abadi di dalam rahim pertiwi. Mereka telah mati berkalang tanah tetapi ingatan publik dan terutama orang-orang tercinta masih menggema. Ada yang memberikan caption pada foto itu yang menggambarkan tentang perbuatan mereka pada saat maut belum menjemput mereka.

“Hidup mengarah pada kematian.” Kalimat yang lahir dari mulut seorang filsuf ini seakan mengamini siklus hidup manusia. Hidup manusia tidak hanya ditandai dengan kelahiran saja tetapi pada titik tertentu, manusia harus merunduk pada kehendak Allah untuk menerima kematian itu sebagai yang terberi. Heidegger dengan kata-kata di atas mengingatkan proses peziarahan hidup manusia di dunia ini,  tidak ada yang abadi. Hidup menjadi kisah perjalanan yang ada titik akhir. Tak ada yang abadi di dunia ini. Kekayaan yang kita kumpulkan selama ini tak akan bertahan, karena dimakan oleh ngegat dan karat. Demikian juga manusia, tidak akan bertahan selama hidup ini. Usia kematian manusia tak ada yang tahu. Banyak orang mengatakan bahwa tentang kematian bukan soal usia tua atau muda tetapi soal kapan waktunya Allah memanggil manusia dari dunia ini melalui proses kematian.

Apa yang bertahan dan bisa dikenang dari manusia? Kebaikan dan perhatian dari seseorang ia tunjukkan selama hidup menjadi sebuah kenangan yang berharga. Hanya dengan menebar kebaikan selama hidup, seseorang yang walaupun telah mati tetapi tetap dikenang dalam sejarah. Kebaikan itu tak pernah lapuk oleh hujan dan tak pernah lekang panas.***(Valery Kopong)

 

0 komentar: