Oleh:
Valery Kopong*
KETIKA desakan
masyarakat dan asosiasi kepala daerah untuk
mengembalikan mandat rakyat
dengan mendukung pemilukada secara langsung, ternyata tidak menuai
hasil. Melalui rapat sidang paripurna
DPR yang berlangsung alot, pada akhirnya memutuskan melalui voting dan memenangkan pemilukada melalui DPRD. Seperti
dugaan-dugaan yang muncul dalam kaitan dengan wacana pemilukada melalui DPRD,
bahwa gagasan ini merupakan ekses dari kekecewaan partai koalisi merah-putih
yang kalah dalam pertarungan pilpres. Partai koalisi merah-putih berdalih bahwa
pemilukada secara langsung menyisahkan begitu banyak problem, seperti masalah
konflik sosial,beban biaya yang dikeluarkan oleh para petarung dalam pemilukada
dan pada akhirnya berdampak pada korupsi yang melibatkan begitu banyak kepala
daerah.
Apakah dalih seperti ini menjadi sebuah rujukan ampuh
untuk meminimalisir segala problem yang sedang terjadi? Alasan-alasan yang
dikemukakan oleh koalisi merah-putih bisa diterima tetapi bukan berarti secara
serta merta mengembalikan pola pemilihan ke ruang DPRD. Karena mestinya yang
dikeluhkan adalah persoalan klasik maka anggota DPR yang cerdas mesti membuat sistem
teknis yang memberi kemungkinan dalam meminimalisir segala ekses yang terjadi
pada pemilukada secara langsung.
Pengamat politik LIPI, Ikrar Nusa Bakti dalam dialog di
Metro TV pada kamis sore, 25/9/2014 ketika menanggapi pendapat Martin Hutabarat
mengatakan bahwa kalau persoalan korupsi yang dijadikan alasan maka anggota DPR/DPRD
juga perlu dibenah. Karena masalah korupsi tidak hanya melibatkan kepala daerah
yang merupakan produk dari pemilukada langsung tetapi juga anggota DPR/DPRD juga banyak
tersandung dengan masalah korupsi. Apakah nantinya DPR/DPRD dipilih langsung
oleh Presiden untuk menekan angka korupsi? Tanggapan dari peneliti senior LIPI
ini sangat menggelitik publik untuk melihat persoalan RUU pilkada melalui DPRD
secara jernih karena kurang mengedepankan kepentingan masyarakat.