Thursday, September 3, 2020

Cinta dan Corona

 

Beberapa minggu yang lalu, sebuah berita menghebohkan terkait dengan perceraian massal yang sedang diurus di salah satu kantor Pengadilan Agama di wilayah Bandung. Dalam antrean panjang itu, terlihat barisan ibu-ibu yang menggendong anaknya untuk menunggu giliran agar bisa mengikuti sidang perceraian itu. Alasan utama yang menjadi pemicu retaknya rumah tangga adalah persoalan ekonomi rumah tangga yang terpuruk karena suami-suami mereka terkena dampak PHK pada musim corona ini. Sebuah alasan yang apabila dipandang dari  sudut pandang normatif, masih menyisahkan banyak pertanyaan lain. Memang corona melanda seluruh sendi-sendi kehidupan. Corona tidak hanya melanda persoalan ekonomi saja tetapi juga melanda dunia pendidikan dan dunia kerja. Pertanyaan penting bagi kita adalah, apakah dengan alasan bercerai karena  keterpurukan ekonomi di musim corona ini menjadi sebuah solusi yang baik? Ataukah alasan ini hanya dicari-cari untuk menegaskan agar ada persoalan yang menjadi gerak pemicu?

 

Melihat angka perceraian di musin corona bergerak meningkat, banyak pihak menaruh perhatian dan keprihatinan atas keputusan untuk berpisah di saat seluruh kehidupan ini terpuruk. Perceraian yang sedang berlangsung mengingatkan kita tentang janji-janji pernikahan yang dulu diikrarkan, yakni sehidup-semati. Mestinya dalam situasi seperti ini, janji-janji pernikahan perlu mendapat pemurnian melalui tantangan-tantangan yang sedang dihadapi terutama persoalan ekonomi dan tantangan yang dihadapi ini mestinya meneguhkan ikatan perkawinan mereka untuk tetap setia dalam menjalani rumah tangga.

 

Persoalan yang sedang terjadi di atas,  jika dipandang dari sudut perkawinan Katolik maka ini menjadi ruang pergumulan suami-isteri untuk mencari strategi yang tepat dalam mengatasi persoalan ekonomi keluarga. Ketika di altar suci, janji perkawinan itu diikrarkan untuk sehidup-semati dan hanya maut yang memisahkan maka tidak ada alasan bahwa persoalan ekonomi yang menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Sifat perkawinan Katolik, yakni monogam dan tidak terceraikan menjadi kunci perekat rumah tangga, dan dalam kesatuan utuh ikatan perkawinan, di sini kita bisa melihat bahwa  keterbukaan diri untuk melihat sebuah persoalan yang dihadapi untuk dicari jalan keluar secara bersama-sama.

 

Apa yang menjadi landasan utama dalam membangun rumah tangga? Dalam konteks perkawinan Katolik, landasan utama adalah cinta kasih ketika pasangan suami-isteri mau membangun rumah tangga. Cinta kasih  menjadi perekat utama dalam menjalin ikatan perkawinan. Yang perlu kita sadari bahwa cinta dan pengorbanan yang ada dalam ikatan perkawinan Katolik, mencontohi Kristus yang karena cinta-Nya yang begitu besar kepada manusia maka Ia rela mengorbankan diri demi keselamatan manusia. Dalam membangun rumah tangga, nilai terdalam yang perlu ditanam adalah cinta dan pengorbanan. Hanya dengan cinta maka pasangan suami-isteri terus bertahan dan dalam mempertahankan keutuhan keluarga, perlu ada pengorbanan antara satu dengan yang lain. Dalam cinta dan perkawinan Katolik, kita melepaskan sikap  “ke-egoan” agar bisa menerima orang lain sebagai partner dalam membangun rumah tangga.

 

Ketika melihat persoalan di atas dan memperhadapkan dengan konsep perkawinan Katolik maka apa pun alasan untuk mengakhiri sebuah biduk rumah tangga, tidak dibenarkan. Corona yang sedang melanda dunia ini telah memporak-porandakan tatanan hidup manusia, terutama masalah ekonomi. Memang, persoalan ekonomi menjadi penting dalam menopang keberlanjutan hidup tetapi yang lebih penting dalam berkeluarga adalah cinta dan pengorbanan tanpa batas. Kalau sudah berbicara tentang cinta dan pengorbanan maka pada saat yang sama, persoalan ekonomi bisa diatasi dan juga pelbagai persoalan lain.  Karena itu, antrean panjang menunggu proses perceraian di atas bukanlah cara mencari solusi yang tepat tetapi justeru menambah banyak persoalan. Apakah seorang ibu, yang karena alasan keterpurukan ekonomi rumah tangga sebagai dampak dari PHK suaminya di musim corona, menegaskan diri bahwa ekonominya menjadi lebih baik setelah berpisah? Sebelum memutuskan untuk bercerai, pikirkan terlebih dahulu, mengapa Anda begitu lama bertahan dalam hidup rumah tangga?***( Valery Kopong)


No comments: