Saya diminta untuk masuk dalam satu tim untuk menguji para calon pegawai negeri sipil yang baru terutama calon penyuluh agama Katolik di lingkungan Bimas Katolik, kantor wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten. Tugas yang diberikan ini merupakan sebuah tanggung jawab yang bagi saya sangat berat karena berkaitan dengan proses penilaian dan pada akhirnya bisa menentukan nasib seseorang untuk masuk ke dalam lingkungan pegawai negeri sipil dalam wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten. Mengapa saya katakan berat karena menilai masa depan sekaligus menentukan arah kehidupan seseorang ke depan tetapi menjadi pertanyaan penting pada saat proses penilaian adalah siapa yang saya nilai dan dari mana dia berasal. Saya sendiri merasa tidak memiliki beban dalam proses penilaian yaitu bahwa ketiga orang calon pegawai negeri sipil yang akan direkrut, sama sekali saya tidak mengenal.
Dengan ketidaktahuan ini maka memberikan keringanan beban pada saya pada saat mengambil penilaian dan pada akhirnya menentukan masa depan seseorang. Dengan menilai berarti saya mengedepankan sebuah beban akademik dan juga memberikan beban pengetahuan serta membuka memori mereka akan pengetahuan tentang hal-hal seputar agama Katolik. Dengan ikut terlibat dalam proses penjaringan ini maka seorang calon pegawai negeri sipil yang dinilai berusaha untuk mengingat kembali apa yang menjadi memori yang tersimpan di dalam ingatannya untuk kemudian bisa berusaha menjawab secara baik apa yang ditanyakan oleh para penguji. Memang berat bahwa dia yang diuji seolah-olah berada pada situasi tapal batas, situasi di mana ia tidak merasa nyaman karena seolah-olah merasa diri sebagai terdakwa dan seakan-akan mengalami proses peradilan akademik, dengan demikian situasi yang serba mencemaskan ini membuat orang lupa atau terpaksa lupa apa yang telah dipelajari, baik pada hari-hari sebelumnya maupun pada saat ketika dia masih duduk di bangku kuliah.
Apa yang saya tanyakan nanti berkaitan dengan persoalan seputar kehidupan agama Katolik, persoalan mengenai kelompok dampingan yang akan dikelola sebagai seorang penyuluh agama Katolik dan juga bagaimana menerapkan nilai-nilai injili di dalam kehidupan sebagai seorang penyuluh agama Katolik. Dalam proses penilaian itu kita bisa melihat sejauh mana penguasaan terhadap materi-materi tentang keagamaan dan juga berkaitan dengan undang-undang sebagai pegangan utama di dalam memberikan penyuluhan terutama di kelompok-kelompok Katolik. Kemampuan akademik juga menjadi sangat penting terutama pengetahuan seputar agama Katolik karena pada akhirnya apa yang kita sampaikan kepada kelompok dampingan menjadi sebuah pewartaan tentang Kristus dan ajaran-Nya. Menjadi penyuluh dalam konteks Katolik berarti menghadirkan warta tentang Kerajaan Allah, kita menghadirkan tentang nilai-nilai injili di dalam kehidupan sehari-hari terutama bagaimana kita berhadapan dengan kelompok-kelompok dampingan nanti. Karena bagaimanapun juga apa yang kita katakan merupakan cerminan juga apa yang kita lakukan nanti dalam hidup sebagai seorang penyuluh. Karena itu apa yang kita buat memiliki korelasi yang sangat kuat antara satu dengan yang lain. Tindakan kita hanya mau menegaskan apa yang kita katakana dan tindakan kita memperlihatkan apa yang selama ini kita tunjukkan, terutama di dalam kelompok-kelompok dampingan karena itu dua hal ini berjalan secara seimbang karena jika salah satunya pincang maka dua-duanya menjadi tidak berjalan secara normatif.
Kisah perekrutan ini mengingatkan kita bagaimana Yesus memilih ke-12 muridnya. Kalau kita bandingkan dengan proses perekrutan para penyuluh agama Katolik untuk kemudian menjadi pewarta di tengah-tengah masyarakat. Menyandingkan dengan peristiwa di mana Yesus memilih ke-12 muridnya dan proses perekrutan penyuluh agama Katolik untuk masuk ke dalam lingkungan pegawai negeri sipil memiliki begitu banyak tuntutan terutama tuntutan akademik dari proses pemberkasan, proses wawancara dan juga tes secara tertulis. Di sini mau menunjukkan bahwa ada beban tersendiri ketika perekrutan itu berjalan secara normatif tetapi itu satu standar yang harus dilalui oleh seorang caoln penyuluh agama Katolik untuk masuk menjadi salah satu dalam jajaran pegawai negeri sipil. Apa yang menjadi pembeda antara sistem perekrutan saat ini sebagai pewarta dan sistem perekrutan yang dilakukan oleh Yesus sangat berbeda. Memang, beda zaman, beda tuntutan.
Saya melihat bahwa menjadi pewarta dan pengikut Yesus, tidak hanya menjadi imam atau biarawan / biarawati saja tetapi bagi penulis, dalam tataran perekrutan para penyuluh agama Katolik dalam lingkungan Bimas Katolik, saya lebih melihat ada upaya untuk memilih secara selektif orang-orang yang layak dan boleh mengambil bagian sebagai pewarta dalam dunia pemerintahan. Menjadi pewarta dalam dunia pemerintahan, memperlihatkan dorongan kerasulan yang kuat,karena menjadi penyuluh berarti terlibat dengan kelompok-kelompok agama lain, suku lain dan hal ini benar –benar membutuhkan ketangguhan seorang penyuluh. Bagi penulis, menjadi penyuluh agama Katolik mengambil peran sebagai rasul Paulus yang berani mewartakan Kristus di luar kelompok-kelompok Yahudi. Hal ini berbeda dengan rasul Petrus yang hanya berani mewartakan Kristus pada kelompok orang-orang Yahudi saja. Semoga semangat Paulus menjiwai seluruh gerak pewartaan tentang Kristus dan karya-karya-Nya. ***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment