Di depan kapel tua itu, 3 orang lelaki tampak bingung dan gelisah. Kebingungan yang menghinggap pada mereka ketika hendak memberikan persembahan kepada Tuhan. Di tangan mereka ada recehan rupiah yang akan dijadikan persembahan untuk Tuhan. Tapi sebelum mempersembahkan, mereka bertiga membuat tiga lingkaran, persis di halaman kapel. Ketiga lingkaran ini dijadikan sebagai ukuran untuk bagaimana mempersembahkan uang kepada Tuhan.
Orang pertama mulai beraksi. Ia mulai melemparkan uang recehan ke atas dan apabila uang tersebut jatuh persis dalam lingkaran tersebut maka uang yang berada dalam lingkaran itu dijadikan sebagai persembahan. Kini giliran orang kedua. Ia melakukan hal serupa. Ia mulai melemparkan beberapa recehan uang ke atas dan apabila uang tersebut jatuh dan berada di luar lingkaran maka uang yang berada di luar lingkaran tersebut dijadikan sebagai persembahan. Kemudian aksi orang ketiga yang dianggap lebih aneh. Ketika melemparkan beberapa recehan uang ke atas, ia katakan: “jika uang yang dilemparkan ke atas dan uang tersebut tetap melayang di atas maka uang itu dijadikan sebagai persembahan, dan semua recehan uang yang jatuh ke tanah merupakan milik saya sendiri.”
Aksi ketiga orang ini memang aneh tetapi menampilkan nilai-nilai ketulusan secara berbeda. Namun ketiga orang ini memperlihatkan dan mewakili karakter manusia secara kolektif. Apa yang dipersembahkan manusia kepada Allah bukanlah sebuah keharusan melainkan berdasarkan perhitungan ekonomis-matematis. Mempertimbangkan sesuatu secara diskriminatif akan melahirkan sebuah jarak pemisah yang sangat tajam, baik antara Allah dan manusia maupun manusia dan manusia.
Manusia yang diwakili oleh tiga orang dalam cerita di atas lebih menggambarkan sebuah idolatria (pendewaan) terhadap “mammon” ketimbang menomorsatukan Allah sebagai sumber yang memberi kekayaan itu sendiri. Keber-Ada-an Allah teralienasi karena dialienasikan oleh manusia sendiri dalam ruang batas mammon.
Si janda miskin dalam cerita biblis memberikan persembahan dari kekurangan yang dimiliki. Janda dalam konteks teologis adalah symbol manusia tak berdaya dan tanpa harapan. Ia telah kehilangan segala-galanya dan sandaran terakhir yang dibangun adalah berharap pada Allah sendiri. Berharap berarti bergantung penuh pada kasih dan kemurahan Allah sendiri. Allah menjadi peneman di tengah ziarah hidup yang dilakoninya. Tetapi bagaimana caranya supaya kasih Allah tetap membara dan mengalirkan kemurahan pada manusia?
Memberi dari kekurangan berarti memberi karena ketulusan sambil berharap bahwa suatu saat Allah menerima dirinya sebagai persembahan yang terbaik. Karakter ketiga manusia di atas sangat kontras dengan nilai pengorbanan seorang janda. Memberi secara tulus tidak berarti harus menjadi seorang janda lebih dahulu melainkan lahir dari kedalaman nurani manusia sendiri.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment