Rinai pagi menetes perlahan
membasahi raut wajah pertiwi. Titik-titik hujan jatuh perlahan, seolah
mengiringi langkahku menyusuri panti Wreda Marfati. Panti yang sunyi seakan
mengajak para penghuni untuk larut dalam permenungan. Di antara sekian banyak
orang jompo, saya sempat temui Opa Paulus (bukan nama sebenarnya) yang lagi
asyik mengisi hari-hari hidup dengan teka-teki silang. Saya coba menghampiri
dan bertanya seputar minat baca. “Opa punya minat baca yang tinggi ya?”
tanyaku. “Iya, saya punya kesukaan membaca dan mengisi TTS (Teka Teki Silang),
“ jawab opa. “Mengapa opa, tidak suka membaca Kitab Suci?” tanyaku lebih jauh.
“Saya tidak suka baca Kitab Suci,” jawabnya santai. Lebih jauh ia mengatakan
bahwa pernah diajarkan membaca kitab suci tetapi baginya, hanyalah omongan
hampa saja. Kita hanya diberi hiburan-hiburan sabda tetapi tidak ada
realisasinya.
Mendengar jawaban opa itu, saya tersipu malu. Kitab Suci rupaya
kurang mendapat tempat di hatinya selama mengayuh hidup. Lebih jauh dapat saya
katakan bahwa opa ini selalu berpikir matematis, mengkalkulasikan sesuatu
berdasarkan fakta dan strategi-strategi nyata dalam menggapai cita-cita. Ia
tidak suka berhadapan dengan sesuatu yang bernilai sejarah, apalagi kitab suci
terutama Perjanjian Lama yang berisikan pengalaman iman umat Israel dan sejarah
perjalanan hidup masa lampau. Opa tidak suka digiring kesadaranya untuk
mengenang peristiwa masa lampau karena masa lampau baginya adalah sesuatu yang
terlewatkan dan tanpa perlu dikenang lagi. Mengenang kembali berarti menyita
perhatian dan energi yang lebih untuk mulai membangun sekaligus membaharui masa
lampau itu dalam kekinian.
Opa itu kelihatan cerdas dan kritis. Ia tidak mau
menguras energi. Baginya, hidup hanya dijalani bagai air mengalir yang tanpa
pernah berpikir untuk kembali. Ia sudah tua, sudah renta. Karenanya lebih baik
memaknai hidup dengan menebak teka-teki silang untuk mengusir tingkat kejenuhan
di tengah usia yang tua sambil menunggu panggilan terakhir dari Allah. Mengisi
teka-teki adalah cara paling sederhana untuk memaknai relasi dalam hidup. Di
dalam TTS, ada pertanyaan mendatar dan menurun. Barangkali pertanyaan mendatar
menunjukkan relasi yang akrab antarsesama manusia. Sedangkan pertanyaan menurun
menunjukkan bahwa jalan terakhir berpulang pada ibu pertiwi. Kehidupan yang
baik sangat bergantung pada relasi yang terbangun selama hidup itu. Membangun
relasi karenanya, menjadi momentum terakhir yang menentukan nasib hidup manusia
kelak. Seperti bermain teka-teki, ada yang dijawab pasti dan ada yang tidak,
demikian juga kehidupan itu sendiri. Barangkali kita pernah menanam kebaikan
tetapi lupa di mana kita berbuat baik.
Di panti jompo itu, ada yang masuk ke rumah jompo karena kemauan sendiri tetapi ada juga yang dipaksa ke rumah jompo karena alasan kesibukan keluarga. Banyak yang mengalami keterasingan diri, namun bisa menemukan teman-teman sebaya sebagai teman dalam bergaul di pucuk usia mereka yang hampir rampung. Di rumah jompo itu, sepertinya saya melihat ‘terminal terakhir,’ tempat orang menyiapkan diri di usia senja untuk menerima panggilan abadi nanti. Hidup itu adalah sebuah teka-teki namun kematian yang akan menjemput opa dan teman-temannya adalah sebuah kepastian, bahkan lebih pasti dari ilmu pasti.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment