Thursday, July 30, 2020

Memberi Makan

Yesus berkali-kali mengadakan mukjizat sebagai bagian penting dari pewartaan-Nya tentang kerajaan Allah. Salah satu mukjizat yang dilakukan Yesus adalah memberi  makan lima ribu orang. Mengapa peristiwa ini dikategorikan sebagai mukjizat, sesuatu yang luar biasa diperlihatkan Yesus? Kitab suci Perjanjian Baru terutama  Injil Matius 14:13-21 tidak mengisahkan secara detail tentang proses, bagaimana Yesus menggandakan 5 potong roti dan 2 ekor ikan. Bagi orang yang kritis dalam membaca teks ini, mempertanyakan, apakah setelah berdoa, 5 potong roti dan 2 ekor ikan berubah menjadi sebuah tumpukan besar ataukah setiap orang yang mengambil satu potong roti dan satu ekor ikan, jumlahnya seperti semula?

            Memberi makan bagi banyak orang merupakan gagasan yang dimunculkan oleh Yesus sendiri, namun Ia pertama-tama mau mencobai murid-Nya dengan menyuruh mereka (para murid-Nya) untuk memberi makan pada orang banyak itu. Para murid menyatakan ketidaksanggupan, menyatakan tidak memiliki apa-apa terutama uang untuk membeli makanan bagi ribuan orang tersebut. Tetapi situasi ini tidak berlanjut larut karena Yesus sendiri mengambil alih, mengendalikan situasi dengan mengedepankan ke-Allahan-Nya dengan mencari tahu, siapa di antara ribuan orang yang membawa bekal. Bekal inilah menjadi penyelamat situasi, walau dalam kondisi yang terbatas. Keterbatasan manusia berpadu dengan ketakterbatasan kuasa Allah pada akhirnya menemukan jalan keluar terbaik.

            “Yang ada pada kami hanya lima potong roti dan dua ekor ikan.” Ungkapan ketersediaan bekal ini membahasakan keterbatasan dari para rasul yang sebelumnya disuruh untuk memberi makan lima ribu orang. Dengan mengatakan bekal yang sedikit jumlahnya pada Yesus, secara tidak langsung para murid memberi peluang Yesus agar segera mengambil tindakan protektif. Tetapi dalam nada yang sama, setidaknya mengungkapkan ketakutan karena para murid tidak bisa mengandalkan diri dalam  mengatasi tantangan. Para murid Yesus itu takut, sebab di satu pihak mereka yakin akan kebenaran akan ke-Allahan Yesus yang mereka lihat, dengar dan alami. Pada pihak lain, ada juga kesadaran bahwa apa yang mereka miliki sebagai orang-orang sederhana dari desa tidak akan memadai menghadapi penolakan tantangan yang diberikan oleh Yesus.

            Memberi makan merupakan tindakan Yesus membuka diri dan menyelamatkan orang banyak, tidak hanya untuk ‘saat ini’ tetapi untuk saat yang akan datang, suatu masa eskatologis. Memberi makan berarti menjadikan seseorang bertahan dari terpaan rasa lapar dan untuk terus mengingat sosok Sang Guru yang telah memberinya makanan. Di sinilah Yesus membangun komunikasi non-verbal dan terjalin ikatan emosional yang sangat kuat, antara mereka yang mendengarkan sabda-Nya dan Sang Sabda sendiri. Tindakan Yesus lewat mukjizat telah melampaui batas-batas  kesadaran manusia. Lewat mukjizat, Yesus menggiring orang untuk memahami secara jeli, makna peristiwa tersebut dan dirangkaikan dengan peristiwa yang akan terjadi. Tetapi dalam keterbatasan kemanusiaan manusia, mukjizat hanya dimengerti manusia untuk “saat itu” saja.

            Lima roti dan dua ikan merupakan “nasi dan lauk” bagi orang-orang Palestina. Lima roti dikontraskan dengan lima ribu orang yang  makan dan kenyang.    Dari bekal yang sangat minim itu, setelah Yesus berdoa, mukjizat pun tiba. Mereka makan sampai kenyang, bahkan ada sisa 12 bakul. Dari kekurangan beralih menjadi kelimpahan, melukiskan kelimpahan berkat Allah yang dibawa oleh Yesus. Dua belas bakul penuh berarti bahwa kelimpahan berkat itu terus dapat dibagikan oleh kedua belas murid kepada kedua belas suku Israel, kepada seluruh umat Allah.

            Mukjizat, sebuah aksi menyelamatkan, diperlihatkan Yesus dalam momentum yang mendebarkan, di antara harapan yang kian pupus. Melalui mukjizat Yesus menjadikan momentum ini sebagai pilihan berharga untuk berpihak pada mereka yang telah dengan susah payah mencarinya, serta mendengar sabda-Nya.  Kehadiran Yesus menjadi  bagian penting karena dapat menopang kehidupan mereka selanjutnya. Rasa lapar yang dialami ribuan orang, telah ditunjukkan oleh mereka yang mau bertemu dengan sosok Yesus dan apa yang menjadi ajaran-Nya. Mereka selalu “lapar” untuk mau bertemu dengan Yesus, sosok yang menyelamatkan itu. Kehadiran-Nya memukau, memberi pesona akan karya dan pewartaan yang menyelamatkan.

            Yesus tidak hanya menjadi guru yang terus mengajar, tetapi sabda dan ajaran-Nya membuahkan hasil yaitu mengenyangkan orang-orang yang lapar. Mereka yang lapar, membiarkan dirinya kosong dan pasrah pada kenyataan. Mereka tidak berbuat banyak kecuali menggantungkan nasib pada “pundak Yesus.” Yesus menjadi sandaran utama bagi mereka yang lelah, lapar di tengah keterasingan diri. Di tengah keterasingan diri, jauh dari sentuhan keramaian, mereka merasakan betapa berharga kehadiran Yesus di tengah mereka. Apabila mereka berada bersama Yesus di pusat kota waktu itu, tempat orang-orang menjual makanan, mungkin mukjizat pergandaan roti dan ikan tidak terjadi karena banyak makanan yang bisa dibeli. Tetapi justeru, dalam keterasingan, jauh dari warung-warung makan, mereka merasakan betapa pentingnya jasa-jasa para penjual makanan. Mungkinkah Yesus, di mata mereka adalah penyedia atau mirip para penjual makanan yang selalu menawarkan rasa lapar?***(Valery Kopong)

           

 

 

0 komentar: