Eksistensi Gereja tak pernah sepi dari ancaman, bahkan dihambat perkembangannya. Kondisi seperti ini telah dan terus terjadi sebagai bentuk penyapaan Gereja sebagai Gereja martir. Beberapa paroki di Keuskupan Agung Jakarta, cukup banyak mengalami hambatan, baik dalam doa maupun dalam mendirikan rumah ibadat (gereja). Pengalaman ini tidak menciutkan nyali orang-orang katolik dalam berdoa dan membentuk paguyuban iman. Tetapi justeru di dalam pengalaman pahit seperti ini, Gereja selalu memahami diri sebagai Gereja yang selalu menderita. Kristus dan penderitaan-Nya menjadi model dan memberi inspirasi bagi perjuangan hidup dalam menggereja. Dari manakah semangat yang memampukan umat Katolik untuk bertahan? Sampai kapan situasi yang tidak kondusif ini berakhir?
Membaca realita
Ketika bertemu dengan seorang teman yang berasal dari Paroki Sta. Bernadeth Ciledug-Tangerang, ia mengisahkan tentang perjuangan mereka dalam membangun paroki. Begitu lama mereka hidup dalam paroki itu tetapi sampai saat ini, belum memiliki rumah ibadah. Sudah banyak upaya dilakukan untuk mencari tempat mendirikan gereja, sepertinya sia-sia karena warga sekitarnya tidak mendukung. Peristiwa ini menjadikan mereka lebih solid dan kreatif untuk bagaimana menghidupi Gereja itu. Salah satu alternatif yang ditempuh adalah mengadakan misa di setiap wilayah pada hari minggu dan hari-hari raya lain.
Cerita teman ini menunjukkan keprihatinan tetapi di sini lain, terlihat upaya yang dilakukan dalam membangun “Gereja Diaspora,” sebuah Gereja alternatif yang menjawabi kebutuhan umat urban dan menghindari gesekan sosial horizontal. Gereja diaspora seperti yang ditulis oleh Alm.Romo Mangun menjadi sebuah kondisi nyata yang terdesain dalam keterhimpitan masalah. Gereja diaspora di sini dimengerti sebagai Gereja yang menyebar dalam beberapa wilayah, yang tumbuh dari keterdesakan situasi. Pengalaman dalam membangun Gereja-Gereja kecil menjadi sebuah langkah nyata dalam menghadirkan Kristus secara lebih dekat, baik kelompok internal maupun eksternal.
Dengan mengadakan misa di setiap wilayah dan kelompok kecil, menjadi tanda bahwa kerajaan Allah sedang hadir dalam perayaan penuh makna itu. Warta kerajaan Allah dalam bentuk perjamuan itu menjadi sebuah pertanyaan politis bagi Gereja, atau, dalam formulasi Umberco Eco: pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan Gereja apabila dia sungguh mencintai manusia. Gereja mengulangi pewartaan ini setiap kali dia merayakan ekaristi. Ekaristi adalah sakramen, tanda Kerajaan Allah sebagai perjamuan yang tidak mau mengucilkan siapa-siapa. Kalau ekaristi sekaligus dianggap sebagai perwujudan sakramental Gereja, bahwa di sana Gereja mengekspresikan diri sebagai tanda, sebagai sakramen Kerajaan Allah di dunia ini, atau dalam bahasa Konsili Vatikan II sebagai sakramen persatuan manusia dengan Allah dan manusia satu sama lain (bdk.LG 1), maka warta Yesus tentang kerajaan Allah dan perayaan itu sendiri harus selalu menghadirkan sebuah citra diri, di hadapannya Gereja mesti bercermin: apakah dan sejauh mana dia menjadi sakramen yang benar, yang dimengerti dan yang menyentuh dari kerajaan Allah itu. Semestinya menjadi sebuah luka yang menganga dalam setiap perayaan ekaristi, apabila kita menyadari bahwa para peserta perjamuan yang sama itu terbelah dalam kelompok yang kaya yang hidup dalam kelimpahan dan kelompok yang miskin yang tidak memiliki apa-apa.
Ekaristi menjadi sebuah bentuk keberpihakan sekaligus tanda penyelamatan bagi mereka yang sedang berada pada situasi darurat. Mungkinkah dalam perayaan ekaristi, umat yang hadir menyadari sebagai diri sebagai “roti hidup” yang siap dibagi dan dibaurkan diri dalam kerumunan massa yang mayoritasnya adalah non katolik? Dengan membentuk kelompok kecil sebagai serpihan roti yang dipecah-pecah, menandakan bahwa mereka sedang digiring untuk memperkenalkan, siapa itu Yesus yang diimani pada tetangga-tetangga yang belum mengenal. Pelan tapi pasti bahwa suatu ketika saat, kerinduan untuk membangun sebuah paroki menjadi nyata karena didasari oleh kesepahaman akan nilai-nilai kristiani yang tertabur di seputar kelompok-kelompok kecil.
Georges Bernanos, penulis Perancis (1888-1948), dalam romannya “Ketakutan yang terberkati,” menulis demikian: “Yesus Sang Penebus telah dan tetap hidup di antara kita sebagai seorang miskin. Di dalam sejarah selalu muncul saat-saat, di mana Dia memutuskan untuk membuat kita miskin seperti diri-Nya sendiri, agar kita dapat diterima dan manjadi sahabat para fakir miskin, untuk kembali menemukan apa yang dikenal-Nya dahulu di jalan-jalan di Galilea: keramahan orang-orang miskin dan sederhana. Miskin untuk dapat mendekati dan didekati kaum miskin, sehingga tidak dijauhi oleh para fakir miskin sehingga tidak segan-segan disapa dan diundang oleh kaum miskin. Dan miskin sekian, sehingga undangan, sapaan para miskin itu sekaligus menjadi kesempatan bagi mereka untuk merasa diri sebagai pribadi, seseorang yang bernilai.
Beberapa peristiwa yang mencederai umat bahkan menggonjang iman umat, bisa dilihat dalam terang iman sebagai sebuah ketakutan yang terberkati. Tuhan tidak membiarkan umat-Nya jatuh ke dalam “perangkap” para musuh yang setiap saat menggesek kedudukannya agar mereka tidak lagi mengakui Kristus. Pengalaman hidup menggereja tanpa sebuah gedung gereja paroki, sebagai upaya untuk tetap bercermin diri pada sosok Sta. Bernadeth. Selama hidupnya, ia (Sta. Bernadeth) mendapat tantangan berat yang datang dari sesama rekan sepanggilan dan dari pemerintah pasca menerima penampakan Bunda Maria. Kesetiaannya “memangku derita” memperlihatkan kepribadiannya yang selalu berpasrah pada ribaan Sang Bunda. Seperti Bunda Maria yang selalu pasrah pada kehendak Allah, Sta.Bernadeth pun demikian. Tetapi dalam kepasrahan, “ada jalan baru” yang ditunjukkan oleh Allah baginya. Seperti Bunda Maria dan Bernadeth, umat Paroki Sta.Bernadeth pun selalu pasrah. Tuhan pasti akan memberikan jalan untuk membangun rumah-Nya (baca:gedung gereja) dengan dasar keringat dan perjuangan tanpa batas.*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment